1

5.8K 288 26
                                    

Langit dengan semburat merah di ufuk barat sedikit ternodai keindahannya dengan gumpalan awan hitam yang merambat cepat terbawa angin. Bergulung dari arah timur melapisi langit. Debur ombak laut kian membesar. Menghempas pantai dengan suara keras, menghapus jejak - jejak kaki di pasir pantai. Aroma anyir terbawa angin, memenuhi udara hingga menyesakan pernapasan. Lima tubuh tak berdaya bergelimpangan di pasir basah. Terhempas ombak yang memecah. Darah mengalir dari luka - luka di tubuh - tubuh itu menjadikan air laut untuk sesaat berwarna kemerahan.

"Maafkan aku''

Isak tangis tertahan seorang pria yang duduk tepekur sembari memangku sesosok tubuh sayup terdengar di keheningan yang hanya diisi debur ombak. Ujung kain yang terikat di kepalanya dengan rambut pirang keemasan bergerak pelan dihembus angin. Kedua tangannya merangkul erat sosok tubuh dalam pangkuannya. Tidak tampak wajahnya, hanya helai rambut hitam yang sedikit panjang menjuntai basah terkena air laut. Tangan dengan kulit putihnya terkulai lemah disisi tubuhnya.

Sebuah pedang tertancap di dekat kaki pria yang berlutut. Pedang dengan noda merah yang masih basah. Pedang yang sudah menghabisi lima orang yang di kirim orang itu untuk mengerjarnya dan sosok dalam dekapannya. Sosok yang seharusnya dilindungi dengan nyawanya, namun kenyataannya dia tidak mampu melakukannya.

"Yang Mulia, bangunlah''

Pria itu mengguncang tubuh dalam pelukannya, berharap ada keajaiban yang akan membuatnya terbangun. Meski nyatanya tidak akan. Darah yang mengalir dari tubuh dalam pelukannya dan membasahi tangannya menjadi tanda bahwa dia telah gagal menjalankan tugasnya. Dia gagal menepati janji untuk terus menjaganya.

Tangisnya semakin memilukan. Air mata tidak bisa dihentikan dari dua bola mata yang sewarna lautan itu. Menyesal dan merutuki diri. Kenapa dia begitu lemah hingga tidak bisa menjaganya. Dia sudah berjanji dan seharusnya tidak seperti ini. Di dekapnya tubuh dalam pelukannya. Di dekapnya di dada. Dirinya hancur sekarang. Tujuan hidupnya sudah pergi, lalu apa yang harus dia lakukan sekarang. Dia tidak mampu jika harus menjalani hari - harinya sendirian. Dia sudah terbiasa bersama orang dalam pelukannya beberapa tahun ini. Kenangan saat mereka bersama tertanam kuat dalam kepalanya. Bergerak silih berganti bagai slide film yang diputar. Senyumnya, tawanya, bahkan kemarahannya sudah menjadi bagian dari pria yang kini meratapi kepergian orang terpenting dalam hidupnya itu.

Tubuhnya bergetar hebat saat tangisnya tak dapat lagi terbendung.

"Arrgghhjj...''

Teriakan panjang memilukan yang hanya di dengar lautan dan diredam debur ombak menggema. Seolah alam ikut menangis, langit tidak lagi merah. Suasana menggelap dengan gerimis yang rapat, membantu air laut menghapus jejak - jejak perkelahian yang terjadi beberapa saat yang lalu.

Bertumpu dengan lutut, si pria berusaha bangun dengan membawa tubuh dalam pelukannya. Berjalan gontai menyusuri pantai, meninggalkan pedang miliknya tetap tertancap di pasir. Membiarkan tubuhnya basah disiram hujan yang kian deras. Tidak tahu harus kemana. Tidak tahu apa yang akan dia lalukan.

"Kau akan mati jika terus menngikutiku''

"Aku akan melindungi Yang Mulia, karena itu tugasku''.

"Seharusnya kau tidak membantuku lari dari istana. Sekarang kau jadi buronan sepertiku''.

"Sudah kubilang aku tidak menyesal. Aku akan terus bersama Yang Mulia. Aku berjanji akan melindungi Yang Mulia dan akan membantu Yang Mulia merebut kembali kerajaan''.

"Bodoh''.

"Tidak apa aku bodoh. Yang penting bisa selalu bersama Yang Mulia''.

( .. )

CROSSING BORDERDonde viven las historias. Descúbrelo ahora