1

1.7K 219 25
                                    

Hujan lagi. Untuk kelima kalinya dalam seminggu hujan turun di malam hari. Aku tidak menyukai hujan. Karena hujan berarti atap bocor. Namanya juga bangunan lama.

“Lo mau pindah kos?” aku bertanya ke teman sekamarku. “Yoi,” jawab Kian sambil lalu. Dia masih sibuk dengan game-nya.

“Udah dp belum?” kopi di depanku mengepulkan aroma harum yang menenangkan.

“Beres semua, tinggal pindahin barang-barang. Kenapa? Lo mau ikut?” tanya Kian dengan sedikit nada menggoda. “Cepetan gih kalau mau pindah. Keburu bayar kos bulan depan lo nanti.”

Aku terdiam. Ide pindah kos itu sebenarnya sudah bersarang dua-tiga hari ini. Kamar kosku yang sekarang memang kurang layak huni. Atapnya banyak yang bocor dan dindingnya mulai mengelupas. 11-12 dengan rumah hantu. Maklum, sewanya murah.

“Entah. Gue masih betah di sini.” Akhirnya, alasan asal-asalan itu keluar begitu saja. Bodo amat lah. Aku tahu betul pindah kos tidak semudah mengedipkan mata. Dan hal yang paling merepotkan adalah mengatur ulang keuanganku.

“Jangan kebanyakan mikir. Lo tau sendiri tiap hujan kita selalu basah. Komplain Ibu kos juga percuma, gak digubris. Mendingan nambah sedikit uang sewa daripada tiap hujan tersiksa.” Lanjut Kian serius.

“Ok lah, ntar gue pikirin.” Jawabku, final.

Setelah itu, kami sibuk dengan urusan masing-masing.

##

Hampir tiga setengah bulan kemudian, aku baru melakukan saran Kian. Iklan mencari teman sekamar yang aku posting di web kampus akhirnya membuahkan hasil. Jum’at malam, seorang teman seangkatan dari satu fakultas meneleponku. Namanya Aji. Kami sepakat mencari kamar kos yang agak jauh dari kampus untuk menghemat uang sewa. Meskipun sedikit merepotkan, tapi ya ok lah. Kantong pas-pasan mah bisa apa.

“Udah sampai mana?” suara kalem dari seberang berhasil membuatku menepikan motor.

“Masih di pertigaan. Kenapa?” Balasku, singkat. Meskipun kami sudah 2-3 kali bertemu, tak bisa kupungkiri rasa canggung dengan orang baru itu masih ada.

“Ok. Gue udah sampai. Kalau gue titip makan, bisa gak?” Dan sepertinya, Aji hampir sama sepertiku. Canggung.

“Siap.” Selesai menutup panggilan, aku kembali melanjutkan perjalanan ke kos baruku.

##

Aku tiba menjelang maghrib. Aji membantu memindahkan barang-barangku yang tidak seberapa. Dia meletakkannya di sayap kanan ruangan, berseberangan dengan barang-barangnya. Kamar kosku yang baru sedikit lebih baik daripada kamar lama. Meskipun sama-sama sempit untuk ukuran dua cowok dewasa, setidaknya tidak ada celah di atap. Dindingnya masih bau cat tembok. Diwarna sepenuhnya putih dan belum ada jejak lubang paku sama sekali. Seperti kata Ibu kos, kamar yang kutempati baru selesai direnovasi dua minggu yang lalu. Rejeki anak sholeh memang gak kemana.

“Mas Adit di lemari atas, aku di lemari bawah. Gimana Mas?” Aji mulai membongkar barang-barangnya. Aku merasa sedikit aneh dipanggil “mas” padahal kami satu angkatan. Tapi sekali lagi, bodo amat. Terserah dia mau memanggilku apa.

“Yoi.” Aku mengangguk, kemudian mulai membongkar barang-barangku. Malam itu, kami menghabiskan tiga jam penuh untuk menata, merapikan, dan membersihkan kamar.

##

Baru hari pertama menempati kamar itu, tiba-tiba masalah muncul. Hanya ada jatah satu kasur untuk tidur. “Gue aja yang tidur di bawah,” aku yang merasa sedikit bingung dengan situasi ini akhirnya mengorbankan diri. Lagipula, tidak ada bedanya tidur di kasur atau di lantai karena badanku sangat lelah dan membutuhkan istirahat segera.

LIKE ITWhere stories live. Discover now