Gerimis di Stasiun Tugu

131 2 0
                                    


YOGYAKARTA, 23 November 2017. Pukul 14.40

Awan hitam kala itu menyelimut di langit kota Yogya. Aku termenung saat itu menunggu kedatangan Dian di stasiun Tugu. Bayangan masa kecil kami menggelitik hatiku. Bibirku dibuat tersenyum simpul sendiri. Jelas terbayang kisah masa lalu di sudut surau saat itu. Surau kecil tempat kami ngaji, ngajinya sepuluh persen sisanya bermain. Itulah kami saat itu.

Aku Abimanyu Andrian. Teman-teman sering memanggilku Abi. Ayahku berasal dari Surakarta dan ibuku asli Bandung. Namun, aku lahir dan menghabiskan masa kecilku hingga lulus SMA di kota kembang itu. Kini sudah empat tahun aku melanjutkan Kuliah di kota pelajar, Yogyakarta. Aku bersyukur semua berjalan baik. Tugas akhir sudah selesai, hanya tinggal menunggu jadwal sidang saja.

Dian, adalah temanku di SD Banjarsari, Nama lengkapnya Dian Laela. Sempat terpisah di masa SMP, kami kembali lagi bersama di SMA 5 Bandung tahun 2011 silam. Walaupun kami tidak satu kelas, kami selalu bersama jika tidak ada kegiatan masing-masing. Di masa inilah aku melihat ada yang berbeda di sosoknya. Dia terlihat sangat menarik di masa ini. Ada perasaan berbeda dalam hatiku. Mendesak, menyeruak, menyesakkan dan menindih hati. Setiap ruangannya dipenuhi rasa kagum pada sosoknya. Tapi, aku benar-benar tidak berani mengatakan. Aku takut, jika perasaanku ini membuatku jauh darinya. Menjaga persahabatan lebih baik dari pada menghancurkannya.

Suatu hari, dia mengatakan padaku bahwa dia sangat terobsesi dengan gerimis. Menurutnya, butiran Air yang melayang dari langit itu sangat menyejukkan mata, hati dan pikirannya. Tapi, yang paling membuatnya penasaran adalah tentang fakta hujan gerimis yang selalu dikaitkan dengan rindu.

"Bi, kamu tahu tidak? Banyak orang yang mengaitkan Gerimis dengan hujan" Tanyanya saat itu dalam angkot.

"Masa?" Godaku.

"Ih. masa sih tidak tahu?" Responnya ketus.

"Beneran, aku tidak tahu. Yang aku tahu, Gerimis itu bahaya bagi kesehatan"

"Masa sih?" Kali ini dia yang tidak percaya.

"Nih, aku kasih tahu yah. Sambil menunjukkan buku geografi, Hujan itu berkadar PH6, Jika di bawah 5,6 itu dianggap hujan asam. Banyak orang yang menyukai bau hujan gerimis karena dianggap wangi, karena asam itulah kepala terasa pusing"

"Halah, masa sih?" Dia keukeuh tidak percaya.

Lamunanku buyar saat sebuah panggilan masuk ke HP. Dian. Kuangkat.

"Halo Bi, Di mana?"

"Hai, aku sudah di Stasiun nih, kamu baru nyampe mana?"

"Nggak tahu, kata kondektur sebentar lagi. Kurang lebih 15 menit lagi"

"Hei aku masih penasaran, ngapain kamu ke Yogya ngga ada hujan ngga ada angin. Tiba-tiba"

"Emangnya kamu harus tahu?"

"Hih...dasar maneh mah, naon atuh?"

"Nanti kamu juga tahu" Dia tetap seperti dulu. Jika sudah memutuskan, yah sudah sulit untuk diubah. "Nah pengumuman nih, Wates Bi, aku baru nyampe Wates"

"Oh ya sudah, sebentar lagi itu mah. Jangan tidur lagi. Awas yah! Nanti babblas ke Solo"

"Iyah. Iyah. Aku kan ngga kaya dulu" Terdengar ketus membela kebiasaan ngantuknya.

"Ya sudah aku tunggu yah"

"Iyah" kututup telpon.

Pukul 15.00

Aku masih menunggu di kursi yang sama di luar peron. Sekali-kali aku menengok ke arah datangnya kereta. Sambil kunyalakan sebatang rokok mild. Aku benar-benar penasaran dengan maksud Dian datang ke sini. Dalam setiap hisapan rokok itu, lagi-lagi bayangan masa lalu Dian begitu saja muncul di benakku.

Di hari perpisahan tahun 2014, di belakang kelas IPA 1. Rasanya sudah waktunya aku mengatakan apa yang aku rasakan dan kupendam selama ini. Aku tidak berharap memilikinya, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku suka padanya, aku akan sangat bersyukur jika perasaan yang sama ada pada dirinya.

"Maaf Dian, kamu tahu, sudah sembilan tahun kita saling mengenal" Benar-benar kelu lidah ini ketika bicara hal ini padanya.

"Kenapa sih? Tiba-tiba. Sakit kamu?" Dia menatapku aneh. "Keringatan lagi" Sambil menyeka keringat yang meluncur dari dahiku. Sikap itu menambah kelu lidah ini.

"Sejak masuk pertama kali di Sini, aku merasakan ada yang berbeda di diri kamu" Dian mulai mengerutkan keningnya. Nampaknya Dian sudah paham arah pembicaraanku. "Yah kau paham. Aku. Eh. Aku. Aku mulai memiliki perasaan yang bukan sekedar teman. Aku cinta padamu Dian" Akhirnya. Lega. "Tak mudah bagiku menyimpan perasaan ini Dian"

"Kenapa baru bilang?" Dian mempertanyakan alasanku memendam perasaan.

"Aku takut, kamu tidak sependapat denganku. Dan kamu malah jauh dariku"

"Hih kamu mah" Dian menundukkan kepalanya, tak lama menarik nafas panjang sambil mengangkat kepalanya. "Biarkan perasaan itu mengalir Bi, jika kamu adalah langit yang menurunkan gerimisnya aku berharap menjadi daun yang akan menangkap butiran-butiran airnya. Pasrah menerima apa yang langit turunkan" Yes. Aku berteriak kegirangan dalam hati. "Tapi," Yah. Aku mengeluh sambil bersabar menunggu lanjutannya. "Tapi, aku masih dalam sebuah rumah kaca bi. Tidak bisa merasakan air yang jatuh itu. Aku masih memiliki orang tua. Belum pantas aku menerimanya. Maaf." Jleb.

Pukul 15.15

"Masih merokok? Ga sehat lo Bi" Deg. Aku kenal suara itu. Sosok itu tiba-tiba duduk disampingku.

"Dian" Aku terkaget.

"Buang racun ini, bahaya. Lebih bahaya dari gerimis yang melayang jatuh di atas kepala" Seraya mengambil dan membanting rokokku kemudian menginjaknya.

"Dian...." Aku kikuk dibuatnya. "Ini kamu?"

"Yah ini aku. Kenapa?" Sambil menampakkan penampilannya. Penampilannya baru berbalut hijab rapat dari ujung kepala hingga kaki. Pakaian dress longgar dan sepatu sport membalut tubuh dan kakinya. "Aku tahu jawabannya Bi"

"Jawaban apa?"

"Kenapa gerimis dikaitkan dengan rindu?" Halah. Pertanyaan obsesinya dulu ternyata.

"Cuman itu? Kamu jauh-jauh dari bandung ke Jogja? Terus apa jawabannya?"

Dia berjalan ke luar stasiun. Aku reflek mengikutinya. Di pintu masuk bertuliskan YOGYAKARTA dia berhenti membalikkan badannya padaku.

"Jawabannya?" Aku bertanya. Mengerutkan dahi. Penasaran.

"Aku merasakannya Bi. Rindu itu mengambang bi, seperti gerimis. jatuhnya pelan. Dirasakan ketika butiran-butiran itu mulai menapak di daun-daun, memberikannya kesejukan. Tapi, bahaya Bi. Jika aku terus berada di bawahnya. Lebih baik aku hentikan saja"

"Caranya?"

"Obat Rindu itu hanya satu Bi, ketemu dengan orang yang aku rindu"

"Oh yah?"

"Yah bi. Maaf. Aku rindu sama kamu" Deg. Aku benar-benar bahagia sore itu.

"Aku akan datang pada Orang tuamu sesudah selesai sidangku, aku ingin segera mengecup keningmu dan membelai kepalamu. Doakan aku"

"Terima kasih bi"

Gerimispun turun, temaram lampu malam indah terlihat. Suara deru kendaraan pun terkonversi menjadi sebuah simfoni yang indah.

"Ah Syukurku padamu tuhan atas nikmat yang engkau berikan. Mohon hidayah dan bimbinganmu untuk perjalan selanjutnya".

____________________________________________________________________

Cerpen Selanjutnya dibaca yah!

Dia Alika, yang merasa tertipu oleh Lelaki yang berpura-pura pindah agama hanya karena ingin menikah dengannya. tapi, ketika layar sudah berkembang, arah bahtera mereka karam karena tidak satu tujuan. Selengkapnya silahkan dibaca>>>>

Gerimis di stasiun TuguWhere stories live. Discover now