Kilas Bebunyian

49 1 0
                                    

Sukma, tiada kebahagiaan selain mendampingi setiap pertumbuhan hatimu. Setiap pias yang kau saksikan dan kita bicarakan dihadapan teh dan ubi sebagai kudapan. Medan pertarunganmu ialah hati yang melaju cepat dan tak lepas dari rel.

Kau titipkan kapsul waktu tertanam dalam benakku. Kau kalungkan kunci dan melumasinya dengan adab. Terbukalah nanti, dengan baiknya akhlakmu sendiri. Dengan do'a yang pantang, berbalik menjadi picik.

Malam bergetar oleh do'a, saat Bapak membuka cerita. Tidak ada gegap gempita, semangat meluap-luap dan elu-elu hangat dari para hadirin. Hanya siup angin memapar dingin.

Bapak tidak pernah marah. Ia selalu tersenyum saat Sukma merengek. Acapkali dia diam dengan mata sayu jika Sukma pulang dari jalanan. Anak muda itu selalu membawa ketidakharmonisan, "tindik, mabuk dan serupanya," ujar Bapak kusut.

"Make your own bussines!" Gertak Sukma suatu ketika. Ia tak suka Bapak merapikan kamarnya. Bak molotov ia terbakar, mengobrak-abrik pakaian yang telah rapi. Sukma marah mendapati kertas-kertas lirik lagunya tertumpuk apik di meja. Baju kotor yang ia tinggalkan berserak, malam itu telah rapi di keranjang.

Bapak tertegun, ia bersabar atas sikap anaknya. Ia menyadari kegundahan putra tunggal yang kesepian itu. Kematian istrinya menjadi cambuk menyakitkan bagi Sukma.

Ibundanya selalu mendukung kegiatan sang putra, memenuhi harinya dengan kasih sayang jika Sukma bersedih akibat perlakuan kasar teman sekolahnya. sementara ia sangat terlambat untuk mendekati hati sepi bocah itu.

Akibat sikap buruk teman di sekolah, Sukma bergaul dengan anak jalanan untuk melampiaskan kesepiannya. Ia cepat dikenal karena kepandaiannya bermain gitar. Bersama beberapa teman ia sering ngamen dari kios ke kios di sepanjang jalan Jogja-Solo.

"Minta maaflah pada mendiang ibumu." Bapak mengeluh lirih. Sukma tercekat, tak menyangka Bapak bakal mengungkit kenangan tentang orang terkasihnya. "Bapak terlalu kolot!" ujarnya.

"Kau sudah besar, ibu sayang padamu agar kamu menjadi anak baik..."

Anak itu tertunduk, angin semilir yang bertiup di sela ventilasi tak mengurangi panas hati. Ia menatap wajah ayahnya sejurus kemudian. Lututnya bergetar seakan tak mampu bertahan untuk tegak di hadapan sang bapak. Harga dirinya tercabik, ia tak ingin dianggap nakal. Terutama oleh keluarganya sendiri.

Berbagai persoalan tergambar di wajah remaja itu. Tirus roman mukanya memikul beban berat. Sahabat-sahabat di kelas menjauh karena ia selalu mendapat nilai bagus. Mereka menuduh wali kelas pilih kasih, menjadikan Sukma anak emas. Memberikan nilai lebih untuknya. Karena isu itu, sahabat di sekolah membenci Sukma.

Sementara rumah mungilnya seperti malapetaka bagi Sukma. Apapun nasehat ayahnya seperti menggelitik telinganya. Membuat Sukma geli, terganggu dan terlalu di campuri urusannya.

Anak muda itu mulai jarang pulang. Jika uang habis, ia mendatangi Bapak. Berteriak-teriak menyalahkan Bapak, seolah ia orang tua yang tak becus meringankan beban keluarga.

****

" Bocah itu cerdas," keluh Bapak. Raut mukanya muram mengenang anak sematawayangnya. Sukma tidak pernah turun rangking di kelas. Ia nangkring di peringkat satu sekalipun jarang belajar. Ia bermain gitar sepanjang hari saat di rumah. Namun ia penghafal dan cepat faham meskipun sekali baca buku-buku pelajarannya.

Hanya satu orang yang dapat membuat Sukma terpaku dan tak menghardik: Maryam. Perempuan lugu dengan rangking setingkat dibawah Sukma. Gadis mungil itu menggantikan peran ibu yang telah wafat.

Kemanapun Sukma pergi, dia selalu ikut. Bahkan kalaupun Sukma berkumpul dengan rombongannya, ia tak bergeming. Gadis belasan tahun itu akan mengekor di belakang Sukma. Ia diam dan tak mengatakan apapun.

Begitupun sejak Sukma mengendarai motor pemberian bapak, ia selalu berkunjung ke rumah.

Membonceng--sepulang sekolah. Ia rajin memasak untuk bapak dan Sukma. Pemuda itu tak pernah peduli dan entah mengapa Maryam tahan mengikutinya.

Kelazimanlah yang menyeret Sukma berani melawan orang tua. Ia terpikat kebebasan hidup yang dijalani kawan sebaya. Orang tua dianggap pengekang kreatifitas berekspresi. Dengan berbekal gitar baru Sukma kabur dari kediamannya yang nyaman.

Tutorial Berhenti NakalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang