Daily Life School

193 13 1
                                    

Hanbin menghela nafas. Dia menatap kertas tugas di tangannya dengan malas. Pembagian kelompok di kelas tidak berjalan lancar. Dia tetap seperti itu, tidak punya teman untuk diajak membuat kelompok ataupun teman yang mengajaknya masuk ke dalam kelompok. Intinya, dia sendirian. Lagi.

"Masa bodoh lah."

Hanbin menggidikkan bahunya tidak peduli dan kembali melanjutkan langkah kaki kecilnya menuju perpustakaan untuk mencari buku yang ada materi tentang tugasnya. Dia berjalan menyusuri deretan buku yang sangat banyak dan membuat pusing kepala, lalu kemudian berhenti di deretan buku bertuliskan 'Kelas 5'. Ya, dia memang masih bocah kelas 5 sekolah dasar sekarang.

Hanbin bergelut cukup lama dengan pikirannya sendiri karena terlalu bingung untuk memilih buku yang mana, sebab dia cuma punya tiga kesempatan untuk memilih buku karena kartu perpustakaannya hanya bisa digunakan untuk meminjam maksimal tiga buku dalam seminggu. Hanbin memicingkan mata, menatap tajam satu persatu buku di sana dengan mata bulatnya lalu pilihannya jatuh pada satu buku yang menurutnya paling cocok dan mengambil dua sisanya dengan asal.

"Terserah." Dengusnya. Dia lelah dan ingin segera pulang, lalu tidur hingga malam baru setelahnya dia akan mengerjakan tugas kelompok yang menurutnya sialan itu.

.

.

.

"Hanbinnie sudah pulang?" Hanbin membungkuk membuka sepatunya di depan pintu ketika mamanya datang untuk menyambut. Dia akhirnya mendongak setelah berhasil melepas sepatu beserta kaos kaki putihnya untuk menatap sang mama yang masih menunggu dengan senyum yang sangat cantik.

"Hmm." Balasnya singkat sebelum berlalu menuju kamarnya di lantai dua. Meninggalkan mamanya yang hanya bisa terdiam menatapi langkah kecilnya yang mulai menjauh dengan senyum kecil dan gelengan kepala.

Hanbin memang begitu. Sejak kecil tidak banyak bicara dan tidak punya teman. Bukan, bukan karena dia jelek atau berasal dari keluarga miskin. Malah dia berasal dari salah satu keluarga kaya raya yang senang dengan masakan rumah dan obrolan hangat di malam hari. Masalah tampang, Hanbin itu preety boy yang sejak lahir sudah jadi idola para suster. Kulitnya putih bersih dan rambutnya hitam legam serta sedikit ikal. Dia punya mata yang bulat dan bibir plum berwarna merah menyegarkan juga alis yang cantik yang berhasil menyempurkan bingkai wajahnya dengan sempurna. Intinya, dia itu perpaduan antara tampan dan cantik.

"Hahh..."

Tapi tetap saja. Daya tarik seperti itu tidak membuat Hanbin memiliki banyak teman, bahkan seorang pun tidak. Nyonya Kim baru menyadari masalah ini setelah Hanbin masuk sekolah dasar dan sampai dia duduk di bangku kelas 3, dia sama sekali tidak pernah mengajak satu pun temannya datang ke rumah untuk bermain atau belajar bersama, padahal di usia seperti itu anak-anak biasanya akan suka pergi bermain ke rumah temannya. Tapi tidak dengan Hanbin. Anak itu terlalu pendiam dan jarang tersenyum, wajahnya datar dan tatapannya tajam sama sekali tidak ramah, itu semua membuat tidak ada satu anak pun yang berani menegurnya, mereka semua takut hingga memberi julukan monster pada Hanbin kecil yang tampan. Karena itulah Hanbin sama sekali tidak punya teman dan selalu berakhir sendirian. Tapi dia sama sekali tidak pernah peduli dengan semua itu, dia merasa bisa melakukan segalanya meski harus sendiri.

"Terserah." Itu adalah kata ajaibnya yang membuat dia terlihat kuat di tengah tekanan dan bullyan yang dia terima selama berada di sekolah.

.

.

.

"Hanbinnie! Ayo bangun, sayang. Kita makan malam, papa sudah menunggu!" Nyonya Kim memanggil dan mengetuk pintu kamar Hanbin dengan sabar. Dia akan terus di sana sampai Hanbin memberinya jawaban kalau anak itu akan segera turun dan menyusul mereka ke bawah.

"Hanbinnie!"

BRUK!

Nyonya Kim tersenyum begitu mendengar suara krasak-krusuk dari dalam kamar sang putra. Bocah itu pasti sudah bangun dan sebentar lagi akan membuka pintu kamarnya—

CEKLEK!

—dan memandangnya dalam diam dengan mata menyipit khas baru bangun tidur. Nyonya Kim tersenyum manis dan mengusak rambut putranya lembut.

"Mandi lalu turun untuk makan malam." Ujarnya. Hanbin mengerjab dan menganggukkan kepala pelan.

"Ya." Jawabnya lalu berbalik dengan tenang, kembali masuk ke dalam kamar dan tidak lupa menutup pintu kamarnya. Nyonya Kim tersenyum saja dengan tingkah anaknya itu. Sudah biasa, pikirnya. Kim Hanbin memang tidak banyak bicara tapi dia tetap menjadi anak yang selalu menuruti kata-kata orang tuanya, dia bahkan akan diam saja menatap sang mama yang sibuk berceloteh ini-itu bahkan di saat dia sedang tidak mood untuk mendengar obrolan yang membosankan hanya untuk menunjukkan bahwa dia masih menghormati mamanya.

"Hanbin sudah bangun?" Tuan Kim bertanya begitu melihat istrinya berjalan ke arah meja makan setelah berkata akan memanggil putra mereka dulu. Nyonya Kim tersenyum dan mengangguk.

"Dia sedang mandi dan akan turun sebenar lagi, yeobo."

.

.

.

Kembali ke sekolah ini adalah neraka. Tapi Hanbin mencoba untuk tetap tidak peduli seperti biasa. Dia hanya perlu berjalan lurus begitu turun dari mobil yang mengantarnya dan berbelok ke kanan begitu sampai di persimpangan koridor menuju ruang kelasnya. Biasanya mudah, tapi sepertinya kali ini Hanbin menemukan masalah baru. Salahnya mengikuti ajakan sang papa untuk berangkat bersama dan berakhir datang kepagian seperti ini di sekolah. Kalau dia sampai saat masih sepi dan hanya dia anak yang sudah datang, itu tidak akan menjadi masalah. Tapi sekarang ada sekitar lima anak yang menjegatnya dan kini sedang menarik kedua tangannya dengan paksa menuju halaman belakang yang lebih sepi daripada jalan raya lengang di depan sekolah.

BRUK!

Hanbin di dorong dengan kasar dan jatuh tersungkur di tanah menghadap kaki salah satu dari anak-anak nakal yang mengganggunya. Hanbin mendongak untuk melihat siapa orangnya dan ternyata dia adalah salah satu kakak kelasnya yang dia tahu memang nakal dan suka berbuat onar.

"Apa lihat-lihat? Matamu ingin kucongkel, hah?!"

SRET!

"Akhh!"

Hanbin merasakan sakit luar biasa ketika rambut ikalnya tiba-tiba dijambak dengan sangat kuat hingga dia harus berdiri untuk mengurangi sakitnya. Hanbin takut kulit kepalanya akan lepas karena rambutnya ditarik kuat sekali sampai kepalanya ikut tertarik ke belakang.

"L-lepaskan!" Hanbin mencoba meraih tangan jahat yang menarik rambutnya dan memberikan pukulan-pukulan sebanyak yang dia bisa. Tapi anak yang menjambaknya malah tertawa, tidak merasa sakit sama sekali. Pukulan Hanbin lemah.

BRUK!

"A-akh! S-sakit!"

Satu anak lain menendang kakinya hingga dia jatuh berlutut dengan kepala yang masih tertarik ke belakang dengan kasar. Hanbin semakin meringis, sepertinya lututnya terluka karena sekarang terasa perih di sana.

"Dasar lemah! Katanya kau monster, mana?! Begini saja sudah kesakitan! Dasar lemah!"

"Dasar lemah!"

"Lemah!"

"Dasar sombong! Selain sombong ternyata kau sangat lemah!"

"Payah! Huh!"

.

.

.

TBC/Delete?

Find MeWhere stories live. Discover now