1. Bukan salahmu

12.5K 475 40
                                    

Embun merasa pagi ini sedikit gelap, mungkin karena tidak ada awan biru seperti hari-hari biasanya. Sama seperti dirinya yang tengah mendung karena Awan_ kekasihnya sudah satu minggu tak kunjung menghubunginya setelah pertengkaran hebat mereka.

Embun menghela napas panjang, di tangannya terdapat plastik besar yang berisi cake Anniversary mereka yang ke-lima. Selama lima tahun ini, selalu Awan yang memberinya kejutan, sekarang giliran dirinya yang memberi kejutan.

Taxi berhenti sedikit jauh dari Rumah Awan. Dahi Embun mengerut dalam melihat mobil yang berjejer rapi di pinggir jalanan kompleks, belum lagi ramai orang yang salah satunya Embun kenali adalah saudara Awan.

Perasaan Embun berkecamuk, dia merasa ada yang tidak beres.
Apa mungkin ... Ah tidak, tidak mungkin sedrama itu.
Mereka hanya bertengkar dan itu hal yang lumrah, tidak mungkin Awan kenapa-napa.

Embun keluar dari mobil, sesaat Embun menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah menuju kediaman Awan.

Semakin dekat, perasaan Embun semakin tak karuan. Kenapa? Ada apa? Apa Awan baik-baik saja? Hanya itu yang bersarang di benak Embun.

"Embun ...," suara wanita paruh baya sukses mengalihkan tatapan Embun.

Embun terkesiap, dia baru sadar jika dirinya sudah masuk ke halaman rumah Awan.
Embun melihat wanita paruh baya yang sudah ia anggap sebagai Ibunya itu, dengan senyum yang mengembang lebar Embun menghampiri wanita itu.

"Mama ... Mama baik-baik saja?" sapa Embun berlutut menyamakan posisi mereka.
Wanita itu terdiam, sementara matanya berkaca-kaca menatap lekat Embun. Embun mendesah pelan, dia segera meraih jemari wanita yang dipanggil Mama itu.

"Mama kenapa? Awan baik-baik saja, bukan?" Tanya Embun pelan. Wanita itu menggelengkan kepalanya.

"Mbakyu, apa cake ini masuk hantaran Awan?" suara lainnya terdengar menusuk telinga Embun.

Embun terpaku, tubuhnya terasa kaku. Hantaran? Hantaran apa maksudnya? Mata Embun beralih menatap Wanita paruh baya yang sedaritadi diam tak menjawab satupun pertanyaannya.

"Ma ...,"

"Embun, Awan akan menikah hari ini."

Duarrr

Lebih dari tersengat listrik, Tubuh Embun menegang. Dia berusaha mencari kebohongan dibalik tatapan mata wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Nihil, dia tidak menemukan itu.

"Menikah?" ulang Embun tersenyum pahit.

"Maaf, Mama pikir--"

"Boleh aku bertemu Awan, Mama?" Izin Embun mengalihkan rasa sakitnya.

Wanita itu mengangguk membolehkan. Tanpa buang waktu, Embun segera beranjak kemudian berlalu dari sana.

***

Awan bersusah payah memasang dasi dan jas yang sangat menyulitkannya. Sejenak pergerakan Awan terhenti, dia terperengah melihat bayangan perempuan di belakangnya dari cermin.

"Embun ..."

Embun, dia berdiri di ambang pintu menunggu Awan menyadari kehadirannya.

"Ada yang bisa aku bantu?" Tanya Embun sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

Awan menelan ludahnya susah payah. Dia segera berbalik menatap Embun dalam.

"Kau sibuk sekali ya, sampai tak bisa menghubungiku hanya untuk sekedar memberi kabar," pernyataan Embun membuat Awan diam.

Embun melangkah semakin dekat dengan Awan. Meski sakit dengan kenyataan ini, Embun tetap harus mengakhiri semuanya dengan baik-baik sama seperti saat dulu Awan memintanya menjadi kekasihnya.

Tangan Embun terulur membenahi dasi Awan. Senyum Embun tetap terukir di sana, meski lebih tepatnya senyum kepedihan.

"Siapa wanitanya?"

Deg

Awan terdiam membisu, sedangkan Embun sudah beralih menatap Awan nanar. "Apa tidak ada satu undangan saja untukku?"

"Embun ..., maafkan Aku."

Embun tersenyum getir, dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Tidak, kau tidak perlu meminta maaf," kilahnya lirih.

Awan menghentikan gerak tangan Embun. Dia menggenggam erat jemari Embun yang terasa dingin di tangannya. "Aku salah, maaf, Aku sudah menyakitimu."

Embun mendongak menatap Awan. Air matanya menggenang di pelupuk matanya.
Embun menggigit bibir bawahnya keras, menahan sakit yang terasa kentara di hatinya.

"Tidak Awan. Ini bukan salahmu, Ini salahku," sergah Embun bergetar. Embun memejamkan matanya sehingga air mata yang sedaritadi menggenang akhirnya mengalir deras.

Embun kembali membuka matanya, dia melihat tatapan bersalah dari sorot mata Awan.
Embun tak kuasa untuk tidak menangis, sekuat apapun dia, hatinya tetap terluka dan terasa sangat pedih di dadanya.

"Ini salahku yang tak bisa membuat hatimu terkunci hanya untukku. Ini salahku yang tak bisa menahan semua pandanganmu, semuanya salahku," isak Embun pelan.

Embun menatap lekat Awan, terukir senyum pahit di bibirnya. "Tapi setidaknya aku bersyukur, perempuan itu sudah membuat Awanku berpikir dewasa. Sudah membuat Awanku tergerak untuk membina rumah tangga yang selama ini ia takutkan."

Awan terperengah, dia pikir, Embun akan menamparnya atau mencacinya karena semua ini.
Namun, ia malah mendapati Embun berkata seperti itu. Dan itu membuatnya semakin merasa bersalah.

Embun meraih jas yang ada tersampir di bahu Awan. Dia segera memakaikannya pada tubuh Awan. "Pesanku Awan. Jangan pernah sakiti istrimu kelak. Jangan menduakannya, jangan berpaling saat dia melakukan kesalahan."

Hati Awan tercubit, dia merasa ucapan Embun memang ditujukan padanya. Awan memang baru tiga bulan menjalin hubungan dengan calon istrinya tanpa sepengetahuan Embun. Minggu lalu, Awan sengaja membuat masalah yang bisa menyebabkan kandasnya hubungan mereka. Namun dirinya salah, Embun belum menganggap hubungan mereka berakhir.

Jas sudah terpakai rapih. "Jadilah Pria yang bisa mempertanggung jawabkan rasa cintanya. Jadilah Pria yang setia."

Hati Embun benar-benar diremas. Embun tak sanggup.
Embun mengusap air matanya pelan dan bibirnya masih tersenyum.

"Kau tahu dasar dari sebuah hubungan?" Tanya Embun seolah Awan akan menjawabnya.
"Kesetiaan, kejujuran, dan kepercayaa." Embun menjawab sendiri pertanyaannya.

Embun menatap dalam manik hitam Awan. "Aku mempercayakan masa depanku bersamamu. Aku percaya jika kau bisa menjadi Ayah dari anak-anakku." Embun kembali menangis. "Namun, apalah dayaku saat dirimu tak mempercayaiku untuk menjadi Ibu dari anak-anakmu."

"Hubungan selama lima tahun ini tak menggoyahkan hatimu untuk meminangku. Namun, perempuan ini mampu menggoyahkan hatimu untuk meminangnya." Embun menarik napasnya dalam-dalam. "Tapi Aku tetap bahagia." Embun semakin melebarkan senyumannya. "Karena aku mencintaimu tulus. Jadi, aku harus ikut berbahagia."

Awan semakin tak mampu mengatakan apapun. Di sini memang dirinya yang bersalah.
Dirinya menduakan Embun, dan dirinya yang tak memberitahu kenyataan yang dipilihnya.

Embun berjinjit, ia mengecup kening Awan lamat bersamaan dengan air mata yang menetes ke hidung Awan. Kecupan selesai.
Embun kembali mengusap air matanya. "Happy Anniversary yang ke-lima. Dan di tanggal ini juga hubungan kita berakhir. Aku melepasmu, berbahagialah bersama wanita yang lebih kau cintai."

Setelah mengatakan itu, Embun segera berbalik melangkah lebar meninggalkan Awan yang masih bergeming menatap nanar punggung Embun yang bergetar.

Embun membekap bibirnya sendiri, menahan tangisnya.
Embun berjalan cepat diringi dengan kepiluan di hatinya.
Embun sering berdoa meminta yang terbaik untuk mereka. Namun, Embun tak menyangka jika yang terbaik bagi mereka adalah Awan yang menikah dengan perempuan lain.

Kejadian ini membuat Embun sadar. Jangan telalu mencintai sesama manusia, karena mencintai sesama manusia hanya akan berujung sakit.

Sakit dikhianati dan sakit ditinggalkan.

TAMAT

Kumpulan Cerpen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang