1st

720 53 0
                                    

Sisi biadab yang kerap kali membuat sang pemilik raga frustasi itu kini terlelap. Menyisakan badan lelah tak karuan dengan perasaan campur aduk yang membumbung. Masa dimana kau menjadi seorang remaja dan memiliki banyak masalah hidup seperti, tawuran mungkin?- memang merepotkan. Ingin lekas besar dan menghasilkan uang guna pamer pada dunia bahwa kau manusia berguna. Tapi dewasa tidak semudah itu- dewasa menyakitkan, bung.

Bukan, ini bukan tentang bagaimana proses caption sosial media tercipta. Ini kenyataan yang tak se-terencana drama dan sekompleks naskah yang ditulis sutradara. Ini kenyataan yang memiliki alur berbeda, tak akan sama akhirnya dengan penutup kalimat bualan yang sering kau dengar atau baca.

Kim Namjoon.

Pria mapan yang masih betah melajang di umur yang cukup dewasa itu menjalani fase awal remajanya hingga dewasa dengan diam dan kebisuan. Melampiaskan pada tumpukan map dan cahaya dari layar monitor yang menyala. Kadang hidup terasa begitu sial, jam segini masih saja menyibukkan pikiran dengan pekerjaan.

Mata sekelam arang itu masih memandang layar komputer di depannya sejak pagi tadi. Mengamati setiap kata yg ada di permukaan datar sambil mengetuk-ngetuk lengan kursi kantornya. Tidak pulang, menurutnya rumah terlalu membosankan. Terlalu menyimpan banyak kenangan tak menyenangkan.

Setiap hari berurusan dengan itu, kadang jenuh datang dan singgah untuk membuat tak betah. Namjoon membalik badan lewat kursi putar yang ia duduki. Memandang kerumunan gedung berlantai rendah dan tinggi di bawah naungan cakrawala pagi. Awan nya bahkan bewarna kekuningan sebagai isyarat menyambut terbitnya si pusat tata surya. Tentu saja, matahari. Bukannya malah permasalahan hidup yang tak juga sudah.

Perlahan awan itu berangsur memutih dan saling bergesekan. Membiarkan cahaya matahari menyinari langit dan membuatnya tampak biru. Namjoon menghela nafas, melirik singkat pada sebuah figura kecil disudut ruangan. Laki-laki itu masih punya hati, ngomong-ngomong. Meski terbuat dari batu sekalipun.

"Aku sudah lelah, 'kah?"

Pertanyaan yang entah ditujukan pada siapa, monolog. Lelah yang entah dalam artian apa, ambigu. Namjoon mengatakan hal semu pada dirinya sendiri ketika pintu ruangan mulai diketuk beberapa kali. Selang beberapa detik, pembatas kayu itu didorong masuk. Menampilkan seorang wanita dengan setumpuk kertas di atas kedua tangannya.

"Halo, Pak Presdir. Sarapan pagi Anda,"

.
.
.
.
.

Suara nyanyian beriring musik yang berasal dari gitar dan piano menggema syahdu dalam ruangan berdekorasi kalem. Seorang gadis muda, memegang mic dengan percaya diri sambil melantunkan suara indahnya. Sesekali memejamkan mata kala beberapa kalimat terasa terlalu asing bagi jiwa yang tentram.

"Sleep like a winter bear~"

Suara tepukan meriah menggemuruh riang dari belasan anak kecil hingga remaja tanggung. Dengan antusias memuji bahkan meminta diajari bagaimana caranya bernyanyi seperti itu. Yang menjadi sorotan tersenyum ramah, menimbulkan gurat haru seseorang. Ditambah pemandangan dihadapannya yang bakal membuat hati siapapun trenyuh.

Dari sini dulu dia berasal.

"Taehyung, terima kasih. Kau membuat kunjungan kali ini jadi lebih hidup."

Pemuda itu memamerkan senyum perseginya kala ditumpahi kalimat seperti itu. Sungguh, ini bukan apa-apa. Tapi kalimat itu mengatakan seolah Taehyung adalah dewa yang bisa membangkitkan orang mati dari kematiannya.

"Tidak masalah, aku senang melakukan ini sebelum sibuk dengan hari esok."

Omong-omong dia belum memiliki rencana untuk acara besok. Sial sekali, padahal tinggal beberapa jam lagi. Tapi lubuk sanubarinya masih belum siap mengajukan ajakan dan menerima penolakan seperti yang sudah-sudah. Haruskah pergi sendiri? Ah, itu terlalu menyedihkan dan-

-menyakitkan.

Taehyung tak yakin bagaimana ia menggambarkan hidupnya. Dikelilingi orang-orang berempati dan berbelas kasih tinggi dengan pusat hidupnya yang sedingin es kutub bumi. Haruskah bersyukur atau mengeluh? Diam atau bertindak? Sebenarnya tidak akan ada yang berubah, karena apapun yang Taehyung lakukan eksistensinya tetap diabaikan.

"Apakah kau akan datang dengan kakakmu besok?"

Dan akhirnya dipertanyakan, tapi Taehyung tak yakin dengan kata yang akan ia lontarkan sebagai jawaban.

"Tentu,"

Terdengar sekali betapa menyedihkannya hidupmu.

Lalu, apakah kau tahu fakta yang satu ini? Sebagian besar orang memandang dunia dalam sudut pandang mereka, orang pertama tunggal. Dimana mereka berpikir jika semesta berpusat pada mereka, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka lihat, makan, minum dan semuanya.

Dan itu juga lah yang terjadi pada seorang Kim Taehyung. Pemuda itu berfikir jika segala kesalahan dan kesialan adalah ia sumber penyebabnya. Mulai dari sosok kakak yang membencinya dan berlanjut pada tatanan hidupnya yang lumayan rumit.

"Ah, sepertinya aku akan menunda kelulusanku saja."

Taehyung mengernyit heran mendengar kalimat itu. Matanya ia pandangkan pada si penutur yang sedang sibuk mengaduk secangkir cokelat panas ditangkupan tangannya. "Lagi? Kenapa?"

Yang ditanya menggeleng lalu mengendikkan bahu seolah tanpa beban, matanya menelisik bagaimana buih tercipta didalam cangkirnya. "Entahlah, ku pikir aku hanya ingin disini. Siapa tahu kakak sialan ku itu mau peduli padaku seperti bocah menengah pertama. Ck, menggelikan."

Taehyung termenung, memikirkan kalimat panjang yang baru saja dia dengar. "Apa aku juga perlu melakukan hal seperti itu?"

"Jangan lakukan, bocah."

"Ah, sakit Kak."

Si pemuda Kim mengusap bahu yang baru saja dipukul cukup keras untuk mengembalikan kewarasannya. Si pelaku mendengus kasar, tidak habis pikir dengan jalan otak adik tingkatnya ini.

"Dengarkan aku, Kim Taehyung.  Jangan coba-coba hal aneh atau kau akan tahu sendiri efeknua bagi dirimu nanti. Ku jamin kau tak akan suka,"

"Memangnya kenapa?"

"Dasar bocah,"

Oke, mungkin keras kepala Taehyung terkadang tidak pada tempatnya.

.
.
.
.
.

Senar gitar mulai berdetik hingga helaiannya yang menegang bergetar. Menghasilkan alunan nadaenggelitik rasa ketika bunyinya terdengar. Si pemuda Kim menutup mata sambil bersandar pada batang pohon besar dibelakangnya. Mulutnya berucap pelan melantunkan untaian syair dalam sebuah lagu.

"Hingga nadiku 'kan terhenti...
...sampai jantungku tak berdetak.
Sampai akhir nafas hidupku...
...ku kan tetap menyayangimu."

Itu tidak bohong, Taehyung memang benar jika ia menyayangi seseorang hingga hela nafasnya berhenti. Bukan puitis, tapi hidup terkadang memang dramatis. Seperti saat ini, mungkin? Dimana mata Taehyung menangkap siluet seseorang dari sini. Tengah berjalan didalam sebuah gedung dengan dinding depan yang terbuat dari kaca. Buru-buru ia menarik ransel yang tadi ia geletakkan asal.

Meloncati pembatas jalan pendek demi menghampiri orang itu. Ya, coba saja keberuntunganmu Kim Taehyung.



Mei 03, 2021 at 21:25 pm

Song by :
V BTS - Winter Bear
Reyka - Hidup Matiku

Heart of Stone | Proses RevisiWhere stories live. Discover now