Sepucuk Surat Kerinduan

62 4 3
                                    

Nun jauh di sebuah perkampungan, tinggallah seorang janda yang menghidupi ketiga anaknya.

Perkampungan sepi penduduk dengan alam yang masih terjaga keindahannya. Serta sungai yang mengalir tidak terlalu deras menjadikan siapa saja dapat melihat beberapa ikan yang berenang ke sana kemari. Rumput hijau bak permadani menghampar luas di sebalik bukit belakang kampung yang turut memanjakan mata bagi siapa saja yang melihat.

“Bowo, tolong bawakan kayu ini!”

“Iya, bu.” bergegas mengangkat kayu yang tidak terlalu banyak itu.

“Cepat. Kita segera pulang!” pintanya dengan khawatir hari akan segera hujan.

Mereka berjalan pulang melalui jalan setapak dengan sedikit menyibakkan semak belukar yang kadang pada sebagian rantingnya sengaja menutupi jalan. Tak berapa lama kemudian tampaklah peraduan mereka, rumah mungil dengan segala cerita serta sejarah yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Tidak jelek tidak juga terlalu bagus. Papan-papan yang tersusun siri dan tidak lagi berwarna juga teratur pada bagiannya, jelas memberitahukan seberapa lama rumah itu sekarang. Atap yang pada bagiannya pun sudah tak lagi utuh serta pintu yang kerap menjerit tiap kali hendak masuk dan keluar rumah.

“Ibu…!” sapa dinda dengan riang sembari menggendong adiknya.

“Sudah mandi kalian?” tanyanya.

“Belum, rehan mau mandi bareng ibu, katanya,” jawab dinda sedikit kesal.

“Bu, di sini saja ya, kayunya?” tanya bowo.

“Ya, sekalian itu punya ibu, ditumpuk, ya!”

“Iya. Sekalian bang nanti kutip sampah ya!” canda dinda menirukan gaya bicara ibunya. 

“Enak saja, nih…nih…nih… yang dikutip,” sambil memegang kepala dinda.

Mereka adalah keluarga bahagia yang sederhana. Bowo merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama di sebuah kampung yang berada tepat di sebelah kampungnya. Sedangkan dinda (adiknya) adalah anak kedua yang kini tak lagi bersekolah dengan alasan ekonomi dan menjaga adiknya (rehan) yang berumur 4 tahun.
Keputusan berhenti sekolah sengaja ia ambil mengingat ibunya yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sementara itu, malam telah bertambah kelam. Suara-suara jangkrik bersahutan dan bulan di atas langit perkampungan semakin tertutup awan hitam. Kegelapan memekat di sepanjang perkampungan.
Kepekatan malam yang membuat tidak seorang pun berani lagi untuk berjalan. Hingga hangatnya keluarga kecil tersebut jatuh terlelap pada kesunyian sepi yang tiap malam mereka rasakan. 

***

Pagi buta Buk Inem harus segera bergegas berangkat ke sawah. Ia bekerja membantu apapun yang dibutuhkan di persawahan milik orang-orang. Tidak memilih tidak juga mengeluh. Sedang bowo juga harus segera berangkat ke sekolah. Jarak rumah ke sekolah yang lumayan jauh mengharuskan bowo menjadi pribadi tangguh dan pantang menyerah. Dinda sendiri bertugas menjaga adik bungsunya sampai ibunya kembali. 

“Hati-hati, bu!, hati-hati juga bang!” 

“Iya, ibu pergi dulu ya!”

“Abang juga pergi, nanti kita main ya, sepulang abang dari sekolah?” sambung bowo dan langsung berjalan setelah menggendong tas biru tua sedikit kusam miliknya. 

Setibanya bowo di sekolah, ia langsung disambut dengan hinaan teman sekelas yang tidak menyukainya. Bukan hal baru bagi bowo yang kerap dihina.

“Jelek, lu, ha ha ha,” berdiri di depan pintu melihat sinis ke arah bowo.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 31, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sepucuk Surat KerinduanWhere stories live. Discover now