Ingatan

52 2 0
                                    

Hampir setahun aku menutup segalanya rapat-rapat, sore ini aku membukanya lagi perlahan, menjadikan semua ingatan sebagai cangkir kopi yang sangat pahit untuk kunikmati sendirian.

Meski terlihat sama dengan perempuan seisi semesta, aku mungkin tak sebaik dan seindah mereka, akan kuceritakan padamu kisah-kisah tua, yang sedikit menyebalkan, menjijikan hingga membosankan, apalagi tentang lelaki yang belum bisa kusebutkan namanya, segala keributan yang ada, juga cinta, dalam tiap langkah keyakinan kami walau berbeda.

Petang itu, dengan segala pertimbangan antara luas prestise dan volume rindu, aku memutuskan untuk menemuinya dengan hanya satu alasan, ia masih utuh dalam ingatanku meski aku tak melihat batang hidungnya tujuh bulan terakhir, aku menghilang bukan tanpa sebab; jatuh terlalu jauh, hingga akulah penyelamat diriku sendiri, tiada yang mampu menggapai dalamnya dasar, hingga aku harus menempuhnya tanpa teman. Terbaring lemah, bersama sahabat setiaku: jarum suntik, pulse oximeter, patient monitor, medical ventilator, dan kawan-kawan kami yang lainnya; Bekerjasama, tak mengenal paruh waktu, dokter memaksa bekerja sepanjang hari.

Kalau saja aku bisa menenangkan ayah dan ibu untuk tak menangis dan memastikan bahwa aku akan baik-baik saja, bahwa aku hanya ingin beristirahat dalam tidur nyenyak, karena agen farmasentika tubuhku ingin mempertahankan fungsi otak setelah timbulnya trauma di sisi lain.

Sembilan belas tahun usiaku waktu itu, berhadapan dengan pilihan hidup atau mati yang tak bisa aku putuskan sendiri, tiada kesempatan berserah diri apalagi mengeluh, mataku tertutup menghadap langit-langit Intensive Care Unit.

Tujuh hari berlalu, keadaanku semakin membaik ditandai dengan airmata yang akhirnya jatuh dan siuman. Belajar berjalan meski harus kembali merangkak, jatuh, bangun, dan setelah membangun ulang impian yang telah runtuh, aku kembali pada sewajarnya kehidupan remaja.

Menikmati kesedihan yang tak berujung, aku bilang pada Tuhan.

Setelah kehilangan, apa akan datang kehilangan yang lain lagi? karena aku tau, tak ada yang bisa kita miliki seutuhnya bahkan diri kita sendiri. Hari ini aku bersedih, apa esok kesedihan ini akan bertambah parah? ataukah berganti dengan apa yang pernah benar-benar aku inginkan?
Mengapa semesta sulit sekali ditebak?

Tuhan memang selalu besar.

Aku berangsur pulih, hari-hari yang sempat menghilang, datang perlahan.

Cukup sedikit saja kau tau tentang bagaimana kesakitanku, dan kini, kau harus mengenal Diandra dengan cinta, bukan segala sakit yang ada.

Kembali pada lelaki yang belum bisa kusebutkan namanya, aku menghubunginya, sedetik kemudian mengendarai motor dan sampai pada tempatnya tinggal. Tiada yang berbeda, kami bercengkrama seperti biasanya, seperti tiga dan dua tahun lalu, ia masih sama walau aku mengeluarkan lebih banyak suara. Saat dia berkata padaku, akhirnya Tuhan memastikan bahwa ia sungguh masih ada di bumi, terlebih menyediakan waktu untuk disuguhkan padaku.

Dalam namanya, lelaki bertubuh ideal ini telah dibaptis semasih usianya sepuluh tahun, datang bersama ayah dan ibunya ke Katedral kenamaan dikotanya, nama itu diberikan tepat saat Katekese Baptis Remaja berlangsung.

Aku mengenalnya tiga tahun lalu, saat ia masih sering memilih diam, ketika belum terpasang kacamata diatas hidungnya, belum terpampang tato dibelikat apalagi tindik yang kini menghiasi telinganya.

Tak lebih dan tak bukan, dihadapanku ia begitu bijaksana ketimbang aku yang masih enam belas tahun, ia menyelesaikan hampir semua konflik yang aku dongengkan padanya, setia mendengar isak tangisku sampai reda.

Januari, 2014

Inilah pertemuan pertama kami setelah lama terpisah.

Dalam ruangan yang sama setelah satu tahun tak berkunjung yang tetap saja sedikit pengap  karena asap rokok terjerembab disini, kami bercengkrama, menghabiskan waktu sampai rasanya tak pernah cukup. Ia menjelaskan bagaimana pementasan-pementasan yang tak kunjung usai, seminar yang belum juga rampung, dan begitu pula aku, sedikit mengeluh tentang sakit kepala yang masih sering hadir, juga tekanan darah yang tiba-tiba maluncur bagai roket hendak menuju bulan.

"Udah sore Nat, aku pulang dulu ya!"

Aku pun berlalu.

Meski telah lama mengenalnya, tak pernah sekalipun aku membayangkan wajahnya sebagai kekasih yang akan selalu datang tiap pagi menjelang dan mengecup keningku tiap pamit akan pulang.

Tak dapat kuhindari, sehabis perjumpaan itulah, pertemuan kami semakin sering meski tiada pembicaraan yang penting. Beberapa kali aku menemaninya makan malam, membersihkan ruang sesak dari sarang laba-laba yang mendekorasi. Banyak candaan yang terlempar dari bibirnya. Akhir-akhir ini tawanya berbeda, jauh lebih manis dan menyenangkan, pelukannya pun jauh lebih menenangkan, sampai-sampai aku tak mau lagi melepaskan.

Tak jarang ia memaksaku agar membangunkannya pagi buta, ingin melihatku saat membuka mata pertama kalinya pada pagi yang suntuk dan dingin itu, katanya. Akupun menepati janji, kubawakan roti dan selai coklat, walau aku tau, ia belum pernah pergi ke kampus dengan perut terisi sarapan atau sedikitnya bekal.

"Nat, bangun yuk, ada kelas kan pagi ini?"

Ia membuka mata, kesilauan karena aku diam-diam menyalakan lampu, tangannya berusaha menggapai sesuatu yang ternyata itu pipiku,

"Hai, Dra"

Lalu ditarik aku untuk duduk disampingnya.

"Aku bikin roti ya?" Kataku sambil membuka selai cokelat yang baru saja ku beli di swalayan dekat tempatnya tinggal,

"Nanti aja, duduk dulu disampingku. Aku nggak ada kelas hari ini"

Aku menuruti, ia menarik tanganku keujung rambut, aku usap kepalanya yang katanya sedikit pusing sebab baru tertidur satu jam. Pagi telah habis.

Sampai pada purnama kesekian, esok ia akan pergi, maka sebagai perantara Tuhan tentang kasih, kuantarkan pada Nata dua botol vitamin, kujadikan surat cinta yang tak Nata ketahui artinya, dalam pertemuan singkat, tak banyak percakapan.

"Nat, baju udah siap semua?"

"Belum, nunggu kamu nyiapin"

Aku merapikan apa saja yang dimintanya untuk masuk kedalam backpack saat ia memainkan gitar, lagu-lagu yang belum berhenti sedari lima belas menit lalu, sambil terus memandangku,

"Nat, aku pulang ya? Udah malam."

"Jangan"

Lagi-lagi ia menarik tubuhku pada dekapannya yang seakan-akan rumah, begitu hangat dan menenangkan. Aku tersenyum melihatnya, sembari berdoa agar wajahku tak memerah. Hanya tiga hari, meski cukup melelahkan bagiku menahan segala resah.

"Dra, aku udah sampai Jakarta"

"Maaf ya Nat, kelas hari ini nggak bisa aku korbankan buat jadi driver pribadimu" Ucapku sambil tertawa diujung telepon

"Dasar! Yaudah, semangat ya Dra. Aku udah sampai hotel, jam tujuh besok pagi seminar dimulai, doakan semua lancar ya. Pertama kalinya aku jadi pembicara nih!" Nata membalas tawaku

"Emang ada yang mau dengerin kamu?"

Candaan dari lelucon-lelucon garing berakhir saat aku harus masuk kelas siang, ia mengucap selamat tinggal yang kuakhiri dengan salam.

Lagu terbelakang yang ia kirimkan padaku menjadi sedikit penenang susah hati yang tak mau pergi, hingga kehadirannya kembali di kota tempat kami tinggal, membawa Nata kehadapanku, kami akhirnya bertemu, ia menyekapku dalam tidurnya, menggenggam tanganku dengan jemarinya, tanpa ia tau, aku sedang bersusah payah menjaga hatiku untuk tidak jatuh saat aku sedang melunasi rinduku pada hangat tubuhnya.

Kami berpandangan,

hari larut malam.

DiandraOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz