Ramadhanku, Bintangku

33 4 0
                                    


Namanya Ramadhan, orang-orang biasa memanggilnya Rama. Lelaki yang paling aku sayangi di dunia ini. Bukan rasa sayang seperti itu, tapi rasa sayang layaknya seorang Ibu kepada anaknya. 

Dia anak yang baik, dia pintar, dia bahkan selalu mendapatkan peringkat satu sejak kelas satu. Prestasinya segudang. Tutur katanya lembut. Dan aku sangat menyayanginya.

"Bi' Ratna, ayo kita main..."

"Bi' Ratna, ayo kita belajar..."

"Bi' Ratna... ayo kita jamaah ke masjid... temen-temen sudah nunggu..." 

"Aku mau dibacakan dongeng Bi' Ratna aja..."

"Bi' Ratna... aku lapar..."

"Bi' Ratna... aku pingin main kuda-kudaan..."

Aku adalah pengasuhnya. Dan begitulah dia, selalu memintaku menemaninya kemanapun. 

Aku yang mengasuhnya sejak bayi, menemaninya belajar, bermain, mengaji, dan banyak hal yang selalu kami lakukan bersama. Papa mamanya sibuk bekerja di luar kota. Aku bekerja disini sejak umurnya 3 bulan. Aku bisa merasakan, dia juga menyayangiku. Hal itu membuatku merasa berkali-kali lipat bahagia.

Hari ini aku menemaninya mengambil rapor, dia bilang ingin menunjukkan sesuatu padaku. Bahkan tak segan menggandeng tanganku sepanjang lorong. Dia ingin menunjukkan rapornya padaku? Aku senang bukan main. Dia terus menarik-narik ujung jari-jariku agar mensejajari langkahnya yang setengah berlari.

Aku tersenyum sepanjang perjalanan. Aku menutup wajahku dengan krudung besar yang selalu ku kenakan. Padahal diri ini tak terbiasa keluar rumah tanpa cadar. 

Meskipun aku selalu menemaninya bermin dan belajar di rumah, tapi ini pertama kalinya aku menemaninya datang ke sekolah. Ada sedikit perasaan takut dan khawatir. 

Apa yang akan dikatakan teman-temannya nanti?. Apa yang akan dikatakan gurunya nanti padaku?. Mereka jelas tau aku bukanlah ibunya. Apa yang akan gurunya katakan padaku nanti? Bagaimana jika orang tua lain bertanya? 

Banyak sekali pertanyaan yang muncul di otakku.

"Bi'.... kok mukanya ditutup sih? gak usah ditutup...." Aku sedikit terkejut.

Ya, Mungkin Rama merasa terganggu dengan cadarku. Aku tak pernah menggunakan cadar kecuali jika keluar rumah. Aku menurutinya dan membuka penutup wajahku. Alhasil seketika itu pula semua orang menertawaiku. Anak-anak SD itu menertawakanku, begitupun orang tua mereka. Ya, aku memang cacat. Sebelah wajahku terkena luka bakar permanen yang tak bisa hilang. Ada sebuah insiden yang membuat wajahku buruk rupa seperti ini.

"Rama... itu ibu kamu ya?" ucap seorang gadis SD berambut pendek dengan bando biru di kepalanya. 

"Kok jelek banget begitu?", tanya teman gadisnya tak jauh dari tempatku berdiri. 

"Hahahah...", mereka menertawakan aku. 

Orang tua mereka hanya melihat, tanpa sedikitpun berniat menegur anak mereka yang telah menghinaku. 

Kulihat Rama membusungkan badannya. Tanpa takut dia berkata;"

Iya, dia Mamaku! Mama tercantik yang kupunya!", sembari menggenggam erat jemariku dan menarikku menjauh. 

Aku terpaku beberapa saat, tanpa sadar aku menangis. Demi Allah, aku menangis! Sungguh mulia hatimu nak. Air mataku bahkan tak berhenti mengalir. Hal itu membuatku semakin merasa berdosa.

Ramadhanku, Bintangku (Cerpen)Where stories live. Discover now