Kenapa Bapak Belum Pulang?

584 124 34
                                    

Pak Tua itu terengah mendaki tanjakan sambil sesekali mengusap wajah keriputnya. Mentari siang ini tiada ampun memunculkan keringat di mana-mana. Pak Tua itu juga berkeringat ditambah sejak tadi ia kesulitan mendaki sampai puncak.

Usahanya membuahkan hasil. Diayunkannya sepasang kaki bersandal itu ke sebuah tempat di mana semua orang menggantungkan nasib perutnya.

Pak Tua terduduk cepat di atas trotoar dan melepas topinya sambil bersandar pada dinding kayu rumah makan tersebut. Mulutnya acapkali menggumamkan nama Tuhan dan tangannya sibuk mengipasi wajah panasnya dengan topi. Dengan mata terpejam dirasainya sedikit sejuk berkat angin yang terembus pelan.

"Alhamdulillah," gumamnya kembali lalu membuka mata.

Kendaraan di depannya masih berlalu lalang seperti itu, menimbulkan asap dan menggores jalanan. Pak Tua merasa lelah, terutama karena ia sejak tadi sudah membuka-buka tong sampah dan karung goni di tangannya belum terisi separuhnya. Boleh jadi uang yang ia dapatkan hanya sedikit.

Apakah ia sudah didahului oleh teman-temannya yang lain? Atau hari ini adalah hari bersih dan orang-orang tidak membuang sampah melainkan langsung mendaurnya? Entahlah. Tapi, Pak Tua tahu, ia harus memperbuat sesuatu selain menukarkan sekarung plastik ke bank sampah di ujung jalan.

Lagipula, bukan saatnya ia memikirkan apa-apa dulu. Dari pagi perutnya terasa hampa dan tenggorokannya sering sekali tercekat seperti tak ada air yang mampu membuatnya kembali basah. Ia bersandar di dinding rumah makan ini karena sebuah alasan.

Sebentar lagi, batinnya.

Dan tepat ketika Pak Tua memutuskan berhenti mengipasi wajah dan kepala, hidungnya mencium sesuatu yang ditunggu-tunggunya. Mulutnya tersenyum dan dihirupnya kuat-kuat aroma ayam panggang itu. Tiada makanan maka aromanya pun tak apa. Kepalanya bisa berpikir kalau ia sedang makan dan semoga perutnya tidak berteriak minta diisi realita. Bukan cuma aroma hangat yang mengisi di dalamnya.

Pak Tua sering berpikir, mungkin anak dan istrinya perlu sesekali dibawa ke tempat ini. Untuk sekadar memakan aroma-aroma nasi mengepul atau ikan yang dibakar. Pasti anaknya akan sangat senang, terlebih karena selama ini yang dirasainya hanya sebungkus nasi uduk. Itu pun bila sang ayah dapat uang dan cukup untuk dipakai belanja makanan. Namun akhir-akhir ini tidak. Ia semakin sulit menukarkan sekarung sampah. Anak istri dan dia selalu menahan lapar dengan minum air dan makan nasi saja walaupun tidak sesering orang-orang. Apakah anak dan istrinya sehat? Entahlah, Pak Tua hanya ingin berdoa agar keluarganya baik-baik saja.

"Ayah."

Sebuah suara menyeret Pak Tua kembali ke tempat di mana aroma bisa menjadi pemuas lapar. Pak Tua tidak mengacuhkan suara itu, sebab, suara anak kecil itu berasal dari dalam rumah makan tepat di belakang Pak Tua bersandar. Terdengar kentara di telinganya ketika sang suara memilih melanjutkan kata-katanya.

"Aku tidak mau makan ini. Kemarin kita makan ayam, Ayah. Masa, sekarang kita harus makan ayam lagi? Aku bosan, Ayah. Aku ingin makan yang lain."

Selanjutnya, Pak Tua tersentak dan tak mendengar suara balasan dari ayah sang anak. Pak Tua hanya tak percaya ia mendengar kata 'bosan' keluar dari mulut seorang manusia terhadap makanan.

Orang-orang kaya ternyata bosan makan ayam. Apa kabar aku dan keluargaku? Pak Tua mengembuskan napasnya pelan. Mereka bosan namun kami tak pernah. Kenapa tak berikan saja pada kami ayam-ayam itu? Kami perlu itu untuk bertahan hidup! Hatinya terus dan terus bicara, menggelengkan kepala harus mendengar keluhan keluar dari orang yang lebih beruntung darinya.

Kenapa Bapak Belum Pulang?Where stories live. Discover now