HILANG ARAH

143 3 0
                                    

GEMERICIK rinai hujan membasahi ibu kota pada senja hari ini. Saat seharusnya semburat jingga terbentang di atas sana yang akhirnya terpaksa digantikan oleh kelabu. Suara gemuruh petir mulai bersahutan yang membuat seseorang mulai bergerak tidak nyaman pada posisi duduknya. Ia mulai menutup kedua telinganya, berharap suara gemuruh di luar sana teredam, tergantikan oleh senyap yang menenangkan.

Ia hanya seorang gadis berusia 13 tahun yang selalu menyendiri, tak memiliki teman satupun. Keluarganya pun entah kemana. Seperti tidak ada yang peduli dengan dirinya. Dia hanya seorang gadis yang hidupnya dipenuhi lara. Sama seperti namanya, Lara Renjana. Nama yang diberikan oleh malaikatnya yang selalu ia ajak bicara setiap detik di dalam hidupnya.

Kata orang, dia tidak waras. Dia melampiaskan semua perasaannya kepada sebuah boneka beruang cokelat yang selalu ia bawa setiap hari. Kemanapun dan kapanpun. Orang bilang, dia adalah gadis yang sengsara karena memiliki nama Lara. Orang bilang, semua enggan berinteraksi dengannya karena dia aneh. Mereka hanya bicara tanpa pernah tahu apa yang gadis ini alami. Mereka tak pernah tahu lara apa yang gadis itu pendam  sendirian pada usianya yang masih belia.

"Aku takut, Mama..." bisiknya dengan lirih seraya memeluk boneka kesayangannya dengan penuh kepiluan yang ia redam sejak 6 tahun belakangan ini.

***

Suara gesekan ranting merasuki indera pendengarannya. Desau angin perlahan menerpa wajahnya hingga menerbangkan anak rambutnya kesana kemari. Seolah diganggu oleh udara sore kala itu, Lara masih saja sibuk dengan dunianya. Menikmati pesta teh kecil-kecilan yang ia selenggarakan bersama boneka pemberian ibunya di taman kecil belakang rumahnya.

"Lara, kesini." panggil seorang wanita yang terlihat pucat seraya menggenggam sisir berwarna hitam di tangannya.
Lara menoleh kemudian tersenyum, "Iya mamaaa... " sahutnya seraya berlari kecil ke arah wanita yang merupakan Mamanya.

Lara duduk di hadapan mamanya seraya tersenyum lebar. Bagai sebuah virus, senyum Lara tertular kepada mamanya. Wanita itu tersenyum pula menatap anak semata wayangnya. Perlahan, wanita itu mulai menyisiri rambut Lara yang panjang.

Pikirannya mulai bercabang ke masa lalu. Tentang Lara yang baru datang ke dunia, Lara yang menginjakan kakinya di Taman Kanak-Kanak, menyisiri rambut anaknya itu yang masih pendek hingga sepanjang sekarang, melihat Lara yang sudah menggunakan seragam putih merah dengan wajah yang berseri-seri. Beliau merasa, waktu sangat cepat berlalu. Sama seperti dirinya. Dirinya yang merasa waktu sangat cepat untuk merenggut tentang dunianya dengan Laranya. Seakan hidupnya terlalu sebentar untuk membesarkan gadis cilik kesayangannya.

***

"Mama, nanti kalau Lara sudah besar, Lara mau jadi dokter! Biar bisa ngobatin Mama..." celotehnya yang membuat lamunan beliau buyar. Kemudian, ia membelai rambut anak semata wayangnya itu. "Mama kalau sakit, bilang sama Lara ya! Biar penyakitnya Mama, Lara usir jauh-jauh!" kata gadis itu lagi seraya mengepalkan tangannya.

Semakin banyak gadis cilik itu berbicara, semakin sakit pula hati wanita itu. Semakin berat dirinya untuk pergi. Beliau menarik napasnya sebelum berujar, "Iya, Lara. Tapi, kalau penyakit Mama gak mau di usir, gapapa ya? Penyakitnya kan sayang sama Mama."

"Nggak boleh, Mama!" Lara mulai merengek. "Yang boleh sayang sama Mama cuma Lara ajaaa!"

Dalam pikiran gadis kecil yang masih jauh dari kata dewasa, Lara hanya menginginkan Mamanya tidak dililit dengan selang-selang di ruangan putih itu. Lara hanya ingin Mamanya tersenyum dengan bibir merah mudanya, bukan dengan bibir pucat pasinya. Lara hanya ingin Mamanya seperti sedia kala. Hanya itu.

Sebelum gadis itu tertidur lelap di ranjangnya, bergelung di bawah selimut di bawah temaram lampu tidur di sudut ruangan, Lara selalu berharap kepada Tuhan. Berharap setiap pagi menjelang, kala ia membuka matanya, selalu ada wajah Mamanya yang menyambut pagi.
Namun, kala itu, semua berbeda. Wajah Mamanya terlihat semakin pucat diiringi senyuman yang tidak biasa. Mamanya membelai rambut panjang Lara secara perlahan. Tanpa Lara sadari, ia menatap lekuk wajah milik wanita itu. Perlahan, bayangannya memudar ... seakan terbang tertiup desau angin malam, melebur dengan udara dingin yang menusuk kulit. Kala itu, Lara menangis saat senyum terakhir Mamanya menghilang begitu saja. Lara berharap itu hanya sebuah mimpi belaka.

Kenyataannya, saat Lara terbangun dari tidur, mimpi buruk menyapanya. Malaikat kesayangannya telah meninggalkannya sendirian tanpa pesan apapun. Membuat Lara harus tinggal bersama ayahnya yang tak pernah peduli dengan hidupnya. Membuat Lara hidup dengan imajinasinya di pojok ruangan gelap dalam hatinya.

***

Seharusnya, pada usia Lara yang beranjak menjadi seorang remaja, ada orang tua yang mendampinginya. Namun, hal itu hanya berada di dalam imajinya tanpa terwujud sedikitpun dalam realita kehidupan Lara. Lara yang penuh kelaraan dalam hidupnya. Lara yang kehilangan malaikat hidupnya, Lara yang tidak memiliki siapa-siapa lagi dalam hidupnya. Lara hanya tinggal dengan seorang lelaki yang ia sebut dengan kata 'papa'. Tetapi, selama 13 tahun hidup di dunia, Lara tak pernah tahu, apa arti seorang Papa di dalam hidupnya.

Sehingga Lara semakin larut ke dalam imajinasinya sendiri dengan boneka beruang yang ia anggap sebagai malaikatnya. Boneka yang selalu menemaninya. Sampai orang-orang berpikir bahwa ia seorang gadis cilik yang gila.

"Kasian, ya, masih kecil sudah gak waras."

"Dia kenapa sih?"

"Katanya karena Mamanya meninggal ya? Memangnya gak ada yang ngurusin dia lagi?"

"Papanya sudah gak peduli lagi sama dia. Terus juga dia gak punya saudara di sini. Semua saudaranya di luar negeri."

"Duh, kasian banget, kecil-kecil udah gila. Padahal kalau dia gak berlarut sama dukanya, dia bisa ngeraih mimpi dia kaya anak normal biasanya."

Segala cibiran tetangga sudah sering gadis cilik itu dengar. Ia hanya berpura-pura menulikan telinganya dan berpikir bahwa ia masih normal seperti anak-anak lain. Buktinya saja, ia masih mengerti apa yang tetangganya katakan. Lara dituntut menjadi dewasa karena keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Jadi, wajar jika dia mengerti apa yang tetangganya bicarakan mengenai hidupnya. Lara itu hanya seorang gadis yang hidup di dalam imajinasinya yang seolah menjadi kenyataan. Sudah itu saja. Tetapi tak pernah ada yang mengerti akan hal itu.

Di balik tirai putih yang menutupi jendela kamar, Lara mengadu pada malaikatnya. Menumpahkan segalanya di balik pelukan boneka beruang besar itu. Mengatakan berbagai hal yang pada intinya hanya berkutat pada ketidak adilan di dalam hidupnya.

"Mama, Lara harus apa? Mereka bilang Lara gila. Mereka bilang Mama sudah gak ada. Mereka bohong kan, Ma? Buktinya Mama masih ada di depan Lara kan sekarang?"

Lara telah kalah dalam menghadapi hidupnya. Lara kecil yang terbiasa hidup dengan Mamanya sekarang hidup terbengkalai dengan penuh tanda tanya yang tidak bisa ia temukan apa jawabannya. Pertanyaan mengenai kenapa dengan semua orang? Kenapa dirinya dikatakan sebagai gadis cilik gila? Ada apa dengan semua ini?

Lara memeluk kedua lututnya di balik sinar senja yang menyorot masuk ke dalam bilik kamar miliknya. Imajinasi sudah menciptakan malaikatnya kembali hadir. Namun, ia masih merasa bahwa sepi memeluknya terlalu dalam. Secara perlahan, Lara merasa bahwa ia ... telah hilang arah pada kehidupannya.


©Rekyan Lithanie, 2019

Hilang Arah [ short story ]Onde histórias criam vida. Descubra agora