Dittiya Larasati

155K 8.6K 496
                                    

"Bapak mau rencana lembur sampai kapan ya, kira-kira?"

Aku tahu ini tidak sopan. Sadar betul, pertanyaan yang kulontar barusan adalah kesalahan. Namun, aku ingin kepastian. Sebab, selain masalah kantor yang selalu coba kumengerti, aku pun mempunyai masalah sendiri. Dan sialannya, tak satu orangpun berusaha memahami.

Terhitung sudah seminggu penuh aku mengabdikan loyalitas tanpa batas untuk PT. Duta Axana. Menemani bosku mengejar lembur yang makin hari makin tak manusiawi. Seperti kemarin saja, aku harus pulang lewat tengah malam. Kemarinnya lagi, pulang nyaris dini hari. Dan untuk malam ini, kumohon jangan sampai pagi.

Aku punya keperluan mendesak. Dan kenapa sih, bosku ini selalu minta ditemani?

Padahal, yang kulakukan hanyalah menyediakannya kopi.

Ya, Tuhan ... kenapa sih aku tidak jadi sopir metromini?

Berharap viral seperti tukang tahu cantik, aku yakin walau wajahku tak sejelita Elsa saat menyanyikan Into The Unknown, paling tidak aku masih serupawan Belle saat berdansa dengan Beast.

"Kenapa kamu tanya begitu?"

Suara serak-serak becek ala bosku pun membelah kegusaran. Tanpa menatap sekretarisnya yang awut-awutan ini, aku mencoba berdeham agar lebih sopan.

"Sa-saya ada keperluan, Pak."

"Kamu bisa menyelesaikan keperluan itu setelah jam kantor usai."

YA, MEMANG!!!

TAPI KAN GUE NEMENIN ELU LEMBUR, BAMBANK!!!

Baiklah, aku menarik napas panjang. Aku masih sangat menyukai rupiah yang kuhasilkan tiap bulan. Belum lagi upah lembur yang kadang memang sangat menggiurkan. Jadi, alih-alih menyemprotnya terang-terangan, kusimpan saja semua di dada. Berharap volumenya bertambah, jadi aku bisa mengenakan gaun seperti milik Priyanka Chopra di Grammy Award.

"Kalau udah nggak ada yang Bapak butuhin lagi, saya ada di meja saya, ya, Pak?"

Tak ada sahutan. Dan itu berarti dipersilakan.

"Memangnya kamu ada keperluan apa?"

Aku baru berbalik dan siap mengentak-entak kaki, untung saja tak jadi. "Saya mau jualan, Pak," kataku jujur. Walau tak kujelaskan apa yang hendak kujual.

"Jualan apa?"

Kulihat dia telah mengangkat kepala dari monitor yang sedari tadi di tatap mesra. Sambil berpikir dalam hati, apakah istrinya tak cemburu suaminya menghabiskan waktu lebih lama di kantor daripada bergumul manja.

Duh, Dit, lu ngelantur deh! Kumarahi otaks segera.

"Saya baru tahu kamu punya usaha sampingan selain menjadi karyawan saya yang paling loyal."

Eh, itu sindiran atau pujian sih?

"Kamu punya bisnis kecil-kecilan juga di bidang perdagangan?"

Arlojiku menunjukkan sudah hampir jam sepuluh malam. Artinya, otak-otak yang waras sudah tergerus dan menghilang. Mungkin, meladeni bosku yang dinginnya bukan kepalang, bisa membuatku sedikit lebih tenang. "Saya baru mau mulai menjajahkannya, Pak," jawabku kalem dengan senyum simpul penuh kesopanan. "Tapi nggak ada waktu, karena sibuk lembur gila-gilaan."

"Apa yang mau kamu jual? Mungkin bisa saja bantu memasarkan. Hitung-hitung saya membalas kebaikan kamu yang sudah menemani saya lembur gila-gilaan."

Ck, nyindir nih?

Baper nih?

Ah, bodo amatlah!

"Saya mau jual sesuatu, Pak."

"Apa itu?"

Sambil kembali berdeham, kuangkat dagu sembari melebarkan senyum pada anak pemilik perusahaan ini. "Saya mau jual keperawanan. Bapak bisa bantu memasarkan?"

Dan kulihat dia tersedak kopi yang tadi kusuguhkan.

Mampus!

Aku segera berlari keluar.

Shit!

***

ya ampuunn jangn tany apa ini yaaa hahahhaa

sebenranya ini konsep belum mateng yang kupaksa mateng demi bisa ngerjain bareng Greya and Raras. *duh kenapa nggak bisa tag kaliaan sih gengsss GreyaCrazz Rasdianaisyah

jadi yaa gitu deh, judulnya emang Ditti yaaa hahahah

ada yang bisa nebak ini cerita siapa?

yang jelas bukan Rajata and Arin. karena mereka masih kecil. ya kali Arin masih SMP ini lhooo... aku kasih spoiler deh, judul cerita mereka nanti Let Me Know. bisa ceki2 di ig ku sedikit sinop di sana hahahaa

DittiWhere stories live. Discover now