Part 1 Introvert

46 1 0
                                    

Anvica Kivani, itu namaku, aku anak pertama dari 3 orang bersaudara, dimana adik-adikku cowok semua, Antoni Kavana dan Armand Kavano. Aku memiliki kepribadian tertutup, dan sulit sekali untuk mencoba menjalin hubungan baik dengan orang yang belum aku kenal. Aku merasa malu dan takut untuk memulai suatu relasi social. Padahal, dirumah, mama dan papa adalah orang yang hangat, apalagi papa. Papa suka sekali berbicara dengan orang yang baru dikenalnya, tanpa malu. Begitu pula mama, dan kedua orang adikku.

Selama sekolah, aku tidak pernah memulai suatu jalinan persahabatan, yang ada hanya beberapa teman yang kebetulan berasal dari sekolah asal yang sama. Teman baru yang kukenal, hanya sebatas teman diskusi di kelas saja. Sementara bila diluar jam sekolah, aku lebih memilih berada dirumah bersama mama, papa dan kedua orang adikku daripada harus keluar bermain atau sekedar mampir kerumah teman-teman sekolahku. Sewaktu papa menawarkan aku untuk kuliah di Malang, kekhawatiran mama dan papa cuma satu sih.

"Nanti kamu bisa dapat teman ga mbak?" Kata mama waktu itu. Wajahnya menunjukkan rasa khawatir.

"Ya bisalah ma. Kiva bisa cari teman yang banyak nanti. Mama dan papa ga perlu khawatir."

"Ma, lagian kalau Mbak Kiva kuliah di Malang, dia bisa nemanin Eyang Putri di Mondoroko. Kasihan lho Eyang sendiri. Om Gio tidak mungkin setiap hari ada dirumah karena pekerjaannya. Kamu tinggal disana aja ya nanti ya mbak. Lumayan juga, bisa mengirit biaya kost."

Papa yang selalu memanggilku dengan panggilan 'Mbak" memintaku untuk menemani Eyang Putri. Tapi, entah mengapa, aku merasa tidak nyaman kalau harus tinggal bersama Eyang Putri.

"Pa, bukannya Kiva ga mau tinggal sama Eyang Putri. Tapi, jarak antara Singosari ke Tlogomas kan jauh sekali pa. Kiva harus naik angkutan sebanyak 2 kali. Kayaknya ga efektif kan. Belum lagi kalau ada jadwal kuliah pagi, pasti repot, karena di Malang kan ga seperti di Jambi, yang tidak mengalami kemacetan lalu lintas."

"Betul itu pa, kasihan anaknya kalau harus bolak balik naik angkutan umum. Lebih baik ngekos aja, nanti cari yang deket sama kampus." Kata mama.

"Tapi kan kasihan Eyang Putri, Mbak. Kalau ada Mbak Kiva kan Eyang ada temannya."

"Gini aja deh pa, setiap akhir pekan, Kiva akan mengunjungi Eyang Putri. Hari Minggu sore baru Kiva pulang lagi ke kosan."

"Iya deh, iya, nanti sampai di Malang kita bahas lagi, sekalian kita cari kos-kosan yang letaknya dekat dengan Kampusmu ya."

"Oke deh pa. Sayang, Papa."

"Yang penting, selama mbak Kiva di Malang, mbak bisa menjaga diri, bisa memilih teman yang mana yang baik dan yang mana yang tidak baik. Pinter-pinter mbak Kiva deh pokoknya. Mama disini paling hanya bisa mendokan mbak selama disana."

Mata mama tampak memerah menahan tangis. Karena, memang tidak pernah sekalipun aku berjauhan dengan mama, papa dan kedua orang adikku. Aku ikut terharu mendengar doa mama.

"Iya ma, mohon doanya mama dan papa, semoga Kiva berhasil, kuliahnya lancar dan Kiva segera pulang ke Jambi, bekerja di Jambi juga, kembali berkumpul bersama mama, papa dan adik-adik."

"Doa mama dan papa selalu dipanjatkan untuk mbak Kiva, Anton, dan Armand. Semoga kalian kelak berhasil. Aamiin..."

Mama memelukku erat, sambil airmatanya beruraian. Akupun jadi ikutan menangis. Karena malam ini malam terakhirku tidur di rumah. Mama mengajakku tidur bersama di kamarku. Malam itu, mama memelukku, erat, hingga akhirnya kami tertidur.

***

Pukul 07.00 aku dan papa sudah bersiap-siap untuk sarapan pagi, yang telah disiapkan oleh mama, untuk kemudian bersiap untuk berangkat ke bandara, penerbangan pukul 08.15 menuju Jakarta – Surabaya.

Seperti biasa, kami selalu sarapan bersama. Kedua orang adikku menunjukkan wajah sedih karena akan berpisah denganku. Antoni yang saat ini akan masuk ke SMP memang tidak banyak bicara, namun aku tahu, dia akan merasa kehilanganku. Berbeda dengan Armannd, si bungsu yang baru saja naik kelas VI SD, asyik bercerita, bahwa nanti kalau dia ingin kuliah di Malang juga.

"Mbak Kiva, nanti jangan lupa telpon ya, ceritain gimana keadaan dan tempat rekreasi di Malang. Adik juga mau nanti kuliah di Malang, seperti mbak Kiva." Ujarnya dengan mulut penuh dengan nasi goring buatan mama.

"Iya, nanti kalau liburan, ke Malang aja, kita jalan-jalan ketempat rekreasi disana. Ke Pantai kamu belum pernah kan? Mbak juga belum pernah."

"Wah, Mas mau mbak kalau ke pantai. Pasti seru, bermain air laut, bermain pasir, cari kerang. Iya kan?" Adikku nomor dua Antoni tiba tiba nyeletuk juga, padahal dari tadi tidak ada suaranya.

"Sudah, sudah, papa dan mbak Kiva mau berangkat, jangan cerita terus. Nanti bisa dilanjutin ceritanya kalau papa dan Mbak Kiva sudah sampai di Malang lewat telepon. Oke?"

"Oke pa." Kata Antony dan Arman berbarengan.

Taksi pesanan papa sudah datang, tibalah saatnya bagiku untuk berangkat bersama papa. Tangis mama tidak terbendung, begitu pula dengan Antoni dan Arman. Aku terharu, pada saat berpisah begini, rasanya berat untukku melangkahkan kaki. Semoga aku kuat, bila jauh dari mereka. Mama memelukku erat, seakan tak ingin dilepasnya, anak gadis satu satunya, yang tidak pernah jauh darinya. Aku mencium tangan mama, dan berpamitan. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan derai airmata yang tak kunjung berhenti. Aku segera masuk kedalam taksi, kemudian melambaikan tangan pada mama dan adik-adikku.

"Selamat tinggal mbak Kiva..." Kata kedua orang adikku berbarengan.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, menjauh dari rumah tempat aku, mama, papa dan adik-adikku tinggal. Papa menepuk bahuku, menguatkan, tanpa berbicara apapun. Selama perjalanan menuju bandara Sultan Thaha, aku sibuk dengan kesedihanku. Sampai jumpa kembali Kota Jambi tercinta.

*****

Pukul 12.30 pesawat mendarat di bandara Juanda, setelah transit di bandara Soekarno Hatta. Dari Bandara Juanda, kami harus menempuh jalan darat menuju Kota Malang, yang akan kami tempuh lebih kurang 2 jam kedepan. Papa lebih memilih naik travel daripada taksi, biayanya lebih murah dibanding taksi.

Selama perjalanan Surabaya menuju Malang, papa menceritakan masa kecil papa sewaktu di Malang, yang penuh dengan kenakalannya. Papa bercerita hal-hal yang lucu dan memalukan yang pernah dialaminya semasa kecil. Aku tahu, papa mencoba mengalihkan perhatianku dari kesedihanku.

Pukul 15.10 travel yang kami tumpangi tiba di Mondoroko gang I, rumah Eyang Putri. Perasaan asing lagi-lagi menyerangku. Rasa ini akan hadir apabila aku berada di lingkungan yang baru. Aku mencoba menghilangkan rasa tidak enak ini. Aku berdoa, semoga aku bisa menjadi pribadi yang lebih terbuka dan mampu menjalin pertemanan dengan teman-teman baru selama di Kota Malang.

"Selamat dating, Kota Malang." Gumamku.

"Ayo mbak, turun, Eyang Putri pasti sudah menunggu dari tadi." Kata papa mengejutkanku.

"Oh, iya pa. Kiva segera turun."

Benar kata papa, Eyang Putri yang sekarang duduk di kursi roda, telah menanti kami di teras rumah, sambil tersenyum sumringah.

"Putuku sudah datang, sini nduk." Kata Eyang Putri.

Aku segera menghampiri Eyang, mencium tangannya.

"Selamat datang di Kota Malang ya ndhuk. Kamu sudah besar sekarang. Ayo mandi dulu, terus kita ngobrol lagi disini." Kata Eyang Putri sambil tersenyum.

Ah, Selamat datang Kota Malang, aku menantikan petualangan seru di Kota ini, dengan sejuta impian. Aku ingin menjadi pribadi yang berbeda. Yaa Allah, bantulah aku, bimbinglah aku. Aku memiliki niat baik dan tulus demi masa depanku.

*****

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 01, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kamar Kita KitaWhere stories live. Discover now