Fairness

4.9K 386 80
                                    

Apa arti sebuah keadilan?

Pertanyaan yang terus terngiang bagai kaset rusak membuat isi kepala Haru semakin terpukul oleh kenyataan.

Apa yang bisa dilakukan lelaki sepertinya untuk keadilan? Untuk dunia? Jikalau uang yang selalu berbicara dan memegang kendali semuanya.

Gelas sloki itu dibanting kuat. Kepalanya semakin berputar menyakitkan. Bahkan musik keras mengentak di kelab malam itu tidak membuatnya menjadi lebih baik. Di antara banyaknya lalu lalang orang di lantai dansa ia melihat sekumpulan pria berjas menjijikan.

Haru melangkah. Segaris beku yang terpasang di bibir menunjukan rasa geram tak terhingga.

Namun cekalan kuat di kedua lengan menghentikan sederet rencana di kepala. Ia menggeram, seperti hewan buas yang digagalkan perburuannya. "Lepaskan!" Suaranya terdengar bagai racauan. Ia memberontak semaunya. Mulut mencaci, membiarkan dirinya digiring oleh sekumpulan orang.

Hanya butuh 5 menit untuk melempar Haru yang mabuk ke atas ranjang. Orang-orang yang tak lebih dari jumlah sekelompok tim basket lapangan meninggalkannya bersama seorang lelaki berjas hitam di kamar sewaan itu.

Dan Haru masih meracau di tengah mabuknya. Kadang mencaci, kadang merintih, kadang terisak seperti anak kecil yang lugu.

Benar-benar lelaki mabuk yang memalukan.

Daisuke memperhatikannya selama beberapa saat. Jas hitam telah ditanggalkan menyisakan dalaman kemeja berwarna putih dengan hiasan dasi berwarna merah—lalu benda panjang yang sehalus sutera itu juga terurai dari kerah lehernya.

"Malaikatku yang bodoh. Mengapa kau merusak dirimu hanya untuk manusia-manusia kotor seperti mereka?"

Terdengar sebuah cegukan, disusul nada marah yang sengau. "Berisik!" Grasak-grusuk mengudara. Bunyi decitan ranjang membeliak ketika Daisuke naik ke atas tubuhnya. Haru memberinya tatapan sengit walau pandangannya berbayang, tak menyadari jika garis bibir Daisuke sudah melengkungkan seringai licik.

"Apakah hasil sidang kemarin mengganggumu?"

Bertambah tajamlah sinar mata Haru yang dipenuhi rasa muak.

Hasil sidang, huh?

Haru tertawa di tengah mabuknya. Menertawai kebodohan dan kenaifannya yang kesekian.

Apa yang bisa ia lakukan? Apa yang bisa dilakukan orang sepertinya? Yang bahkan untuk menyewa sebuah kamar apartemen pun tidak mampu dilakukan.

Apakah keadilan selalu kalah oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan?

"Kenapa tidak ada yang mendengarkanku. Dia bersalah tapi hukum melindunginya. Apakah semua yang kulakukan tidak berguna?"

Daisuke memberinya tatapan iba.

Bukan tidak berguna, tapi Haru hanya terlalu lugu untuk dunia yang kotor. Bahkan orang seperti Daisuke pun tahu hal itu. Jika uang bisa menyelesaikan segalanya—termasuk membeli keadilan, kenapa uang juga tidak bisa melakukan hal sebaliknya?

Seringai di bibir Daisuke berganti dengan senyuman ringan. Diusapnya puncak kepala itu, jemarinya beringsut membelai kulit pipi yang basah di antara sesegukannya.

"Kau ingin menang?"

Jika bukan karena mabuk, Haru tidak akan sudi mengangguk semudah ini. Ia menjelma layaknya bocah yang merengek menginginkan sesuatu, dan hanya Daisuke yang mampu mengabulkannya.

"Aku lelah menjadi pecundang. Semuanya sudah kulakukan dengan benar, tapi ... kenapa ... selalu berakhir seperti ini? Kenapa ..."

"Kau hanya lalai," bisik Daisuke di telinganya. Sentuhan pada kulit pipi itu terus menjalar sampai ke tengkuknya yang berkeringat. Membuat Haru mendesah karenanya.

FAIRNESS (DAISUKE X HARU)Where stories live. Discover now