Chapter 1

13.8K 1.5K 239
                                    

...buat pasangan yang lagi kasmaran, 
dunia serasa milik berdua;
yang lain cuma numpang ngekost, sebagian lagi cuma ngontrak.


&&&


Aku sedang menyusuri rak camilan saat ponselku berdering. Buru-buru, aku mengeluarkan ponsel dari saku blazer, Whatsapp call dari Danial. Dahiku berkerut halus, tumben dia telepon aku di jam makan siang gini.

Jariku sudah hampir menggeser ikon untuk menolak panggilan, karena agak ribet harus membawa keranjang belanja sambil menelepon. Tapi, rasa kangen membuatku mengubah pikiran.

Yah, ribet-ribet dikit nggak apa-apa lah.

Kalau aja Yoga berada di sebelahku saat ini, dan dia tahu lagi-lagi aku bersedia repot demi Danial, Yoga pasti akan mengataiku bucin. Kenapa sih, setiap orang yang bersedia mengekspresikan rasa cinta mereka selalu dapat predikat bucin? 

Mengesampingkan sesuatu demi memilih quality time bersama pasangan kan sesuatu yang wajar. Lagian, cinta memang harus dibuktikan dengan usaha, salah satunya dengan menjadikan pasangan sebagai satu dari sekian top priority. Kalau eksistensi pasangan aja nggak dihargai, gimana mau menghargai hubungan yang dijalani?

"Tumben kamu telepon aku jam segini?" tanyaku, sesaat setelah menjawab salam dari Danial.

Di balik telepon, Danial terkekeh. Apa nada bicaraku terdengar sinis? Seharusnya sih enggak. Mungkin Danial tersindir, karena sudah lama sekali sejak terakhir kali Danial meneleponku di jam istirahat makan siang.

"Kamu nggak baca chat dari aku, padahal tadi, status kamu online," jawabnya dengan suara pelan. Mungkin dia masih serak, dua hari lalu, Danial mengeluh soal radang tenggorokan.

"Oh iya, kamu nge-chat jam sepuluhan ya? Aku ngurus administrasi kelulusan di kampus jam segitu, bareng Pamela, ada sedikit masalah dan aku buka WhatsApp cuma buat nge-chat dia."

"Hmmm. Sekarang masih sama Pamela?"

"Enggak, dia pulang duluan."

"Emangnya tadi ada masalah apa? Jangan bilang kamu nggak jadi wisuda bulan depan,"

"Jadi dong! Masalah nggak penting sih, cuma ada file yang ketukar aja." Aku menaruh keranjang belanja lalu mengambil beberapa box wafer matcha. "Kamu nelepon aku karena ngira aku lagi ngambek?"

"Mm-hm," Danial bergumam, samar-samar, kekehannya terdengar.

"Kalau aku balas chat kamu tadi pagi, pasti sekarang kamu nggak akan nelepon aku deh,"

"Iya lah. Chatting kan lebih praktis. Di hari kerja, agak repot kalau harus nelepon kamu sambil kerja dan makan siang,"

Aku mencebik. Jujur amat sih jawabannya. Tak perlu dijelaskan pun, aku tahu Danial pasti sibuk. Dikit-dikit meeting, dikit-dikit membimbing skripsi. Kewajiban dia semakin bertambah sejak resmi didapuk sebagai ketua program studi—Kaprodi— lima bulan lalu. Danial harus mengurusi evaluasi program di kampus, dan tentu saja, mengajar. Aku berusaha memaklumi kesibukan Danial dengan mengingat betapa perfeksionisnya dia dalam urusan pekerjaan.

Caraku itu cukup ampuh. Buktinya, pertengkaran kecil antara aku dan Danial selalu selesai dengan cepat. Nggak pernah ada cerita di mana kami marahan sampai berhari-hari.

"Sekarang kamu lagi di mana by the way?"

"Di minimarket dekat kampus." Langkahku terhenti di rak minuman khusus yang memajang beraneka ragam cokelat. "Aku lagi beli camilan, stock di rumah udah limit. Kamu tahu kan, aku tuh nggak tahan kalau lihat kabinet dapur kosong. Semalam Ibu lembur lagi, jadinya nggak sempat belanja camilan," ceritaku.

ACC, ya? Where stories live. Discover now