Benci Dalam Secangkir Kopi

44 5 0
                                    

Ketika rindu menjadi benci, pahitnya secangkir kopi tak lagi dapat dinikmati. Sebab, hati menjadi gelap dan pekat yang meluap-luap. Tersebut lah aku, yang dengan segera mencuri senja di awal. Aku enggan menyaksikan sang senja tertawa lepas diatas cangkir kopi ku.

Bagiku, senja adalah milik secangkir kopi dan bersama pahitnya. Senja kunikmati, betapa dahsyatnya rindu membunuh dan mematikan perasaan sang pencandu. Bicaraku tak lagi pakai spasi, manisnya ucapan adalah caci dan maki. Benci ku kini jatuh hati padaku dan pahitnya, mengalahkan milik secangkir kopi.

Sepi enggan berkompromi. Sebab, secangkir kopi ku kini tak lagi menginspirasi. Tak ada rindu kali ini, tempat dimana secangkir kopi dengan liarnya berfantasi.

Secangkir kopi mengajariku arti mencinta, tentang bagaimana aku melarutkan rindu dalam berbagai rasa. Namun cinta tidak tahu diri, pahitnya kopi di balas nya dengan benci. Benciku yang kini menguasai.

Secangkir kopi hangat berangsur dingin dan warnanya, tak lagi hitam pekat. Enggan aku menyentuhnya, juga pahit nya pun sudah tak seberapa. Sungguh secangkir kopi yang malang, senja sudah pulang. Kopi yang malang masih menggenang tenang. Kupandang bayang-bayangku didalam, tampak air mata berlinang.

Ohh, sungguh sayang jika dibuang. Kusulang perlahan dimulutku dan semuanya menghilang.

Filosofi CoffeWhere stories live. Discover now