HAPPINES

879 109 6
                                    

Perang sudah berlalu, Harry pikir ia akan menemukan kedamaian yang selama ini ia nantikan. Namun, tidak ada yang berubah semua hal masih sama seperti sebelumnya, bahkan lebih parah. Semua orang berubah pasca perang, Harry pun begitu. Ia bukan lagi bocah yang tanpa takut menantang maut, sekarang ia berusaha memikirkan apa yang terjadi pada dirinya bila bergerak tanpa rencana matang. Ada yang tidak berubah kesepiannya dan juga perasaannya. Beberapa tahun berlalu, hal tersebut masih sama menemani hari-harinya.

Menjadi seorang auror adalah mimpinya, dengan sedikit usaha dan Harry telah menjadi auror yang disegani rekannya. Terlalu mudah, ia kehilangan semangatnya. Tujuannya sudah ia capai, lalu apalagi? Apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Masa depan di hadapannya menjadi abu-abu.

Ia memberikan kebahagiaan kepada satu daratan Inggris karena sudah memusnahkan Voldemort. Tapi ironisnya, Harry tidak memiliki kebahagiaannya sendiri. Orang-orang yang mengucapkan terimakasih hanya bertamu sebentar dalam hidupnya. Hermione dan Ron mendapat kebahagiaan lewat keluarga kecil mereka. Meski tidak pernah mengatakannya, Harry merasa menjadi orang asing dalam keramaian keluarga Weasley.

  Siang itu, seorang asing mampir ke kantornya, memerhatikan Harry cukup lama. Harry tidak ambil pusing, banyak orang yang sering melihatnya dengan berlebihan. “Mengapa tidak mencoba mencarinya?” Harry mendongak dari kertasnya, balas menatap seseorang itu dengan alis terangkat naik. “Maaf?” Seseorang itu tersenyum penuh arti.

Harry mengingat dengan baik tiap kata, “Mengapa tidak mencoba mencarinya?” Mencari apa? Ia betul-betul tak mengetahui apalagi yang perlu ia cari. Ia tak perlu teka-teki saat ini. Hidupnya saat masih di Hogwarts sudah penuh dengan petualangan. Sekarang ini, Harry tidak menginginkannya lagi. Ia sudah terlalu lelah.

////

Udara khas musim gugur menyapa pagi. Harry menghirup nafas dalam-dalam sebelum berjalan meninggalkan kediamannya. Ia tidak pernah menyebutnya rumah, untuknya bangunan yang ia beli saat lulus dari Hogwarts tersebut tak memiliki arti dan kenangan apapun, terlalu pahit di lidahnya saat diucapkan sebagai rumah.

Selalu seperti ini, setiap hari liburnya ia lalui dengan berjalan kaki. Singgah di toko-toko muggle, dimana tak pernah ia temukan penyihir yang mungkin akan mengenalinya. Begitu menyenangkan melihat senyum penjaga toko yang ramah, senyum yang diulas cuma-cuma bukan karena ia seorang Harry Potter. Tetapi karena ia hanyalah pelanggan biasa yang datang demi secangkir kopi, lalu pergi.

"Potter?"

Harry menahan nafas, ia tak menyangka seseorang akan mengenalinya di tengah keramaian hiruk pikuk wilayah yang dikenal sebagai pertokoan muggle. Nyaris saja ia menjatuhkan kopi panasnya ke jas lelaki tua. Ia menoleh ragu, matanya membulat melihat seseorang yang begitu ia kenali, senyumnya ia ukir mati-matian. “Malfoy.”

Dari sekian banyak daftar orang-orang yang tidak ingin Harry temui lagi, Draco Malfoy berada dalam urutan pertama. Mereka sudah berdamai setelah perang. Malfoy terlihat begitu dewasa, bukan lagi pemuda menyebalkan, yang selalu mencari keributan dengannya. Lalu mengapa ia tak ingin menemui Malfoy setelah kelulusannya? Salahkan perasaannya yang tak juga berubah setelah bertahun-tahun lamanya.

“Bagaimana kabarmu, Potter?” Malfoy duduk disebelahnya, menyesap minuman kalengan. Tidak pernah terbayangkan seorang Draco Malfoy, meminum minuman dari mesin dan duduk di taman yang dipenuhi oleh muggle.

“Baik.” Harry bahkan tidak yakin atas jawabannya sendiri. Ia merasa keadaannya selama ini tak baik-baik saja. Tapi sebuah kebohongan demi terbitnya senyum lelaki berambut pirang, bukanlah masalah.

Happiness [Drarry]Where stories live. Discover now