1. Kabut Merah di Kolam

78 13 15
                                    

Air terjun ini memiliki kolam besar di dasarnya. Kolamnya lumayan dalam sampai airnya terlihat biru gelap. Di awal musim, alirannya kurang begitu deras tapi suaranya tetap gemuruh, menutupi jeram sungai yang tumpah dari bebatuan di bibir kolam. Tempat ini dikurung oleh lembah hijau yang wangi lembap. Aliran sungai kecil di sisi baratnya mengalir menuju Desa Pradini.

Gemuruh air membuat Sunyata perlu agak mengencangkan sahutan. "Mana?" katanya. Dia sudah berdiri di tepi utara kolam tanpa alas kaki, agak jauh dari terjunan, di bagian kolam yang tenang. Permukaan kolam hanya memantulkan langit biru berawan dan wajahnya sendiri. "Gak kelihatan dari sini!"

Sunyata sudah rela bangun pagi dan jalan menyusuri sungai Cilawai demi menemukan sesuatu di kolam air terjun, tapi ternyata tidak terlihat apa-apa. Udara di lembah ini segar, sih, jadi dia tidak bisa sepenuhnya kesal.

Langsir yang sedari tadi berusaha menyeberangi bebatuan akhirnya sampai ke sisi selatan. Dia juga telanjang kaki dan hanya memakai dalaman. Sepatu, baju dan pedangnya ditaruh di bebatuan sebelah sepatu Sunyata. "Itu, Kak, di dasar," sahutnya sambil mencondongkan kepala dan menunjuk ke kedalaman kolam.

Dari sisi Langsir memang terlihat ada benda berbentuk mirip gabah putih berkilauan di dasar kolam. Riak permukaan kolam membuat sinar matahari menari sampai dasar, menerpa gabah tersebut. Namun Langsir yakin itu bukan gabah sungguhan.

Mana ada gabah berukuran sejengkal? Apalagi itu ukuran dari kedalaman 2 tombak. Aslinya pasti lebih besar lagi. Mungkin seukuran peti mati.

Sunyata masih celingukan sampai jengkel sendiri. "Mana sih, Lang? Semalam kita berdua salah dengar, kali."

"Gimana bisa salah dengar? Itu kelihatan. Lurus pas di bawah Kakak."

Sunyata pun berlutut dan menggenggam bibir kolam. Kepalanya menengok ke bawah air, berusaha melihat tegak lurus ke dasar kolam. Benar saja, ada gabah berukuran sejengkal. "Gede juga," gumamnya. Dia menoleh ke Langsir yang sekarang sedang berjongkok di seberang. "Jadi," sahutnya, "kamu yang nyelam nih?"

"Kakak tahu aku gak nyelam sedalam itu."

Sunyata mendengus sambil berdiri. "Bilang aja takut," senyumnya sambil mengembus napas.

"Apa?" sahut Langsir sambil ikut berdiri.

"Udah, aku aja yang ambil." Sunyata melepas busana dan pedang, menaruhnya di sebelah sepatu. Dia juga melakukan pemanasan ringan. "Jagain di sana ya. Tangkap biar gak tenggelam lagi."

Kedua tangan Langsir melipat di dada sebelum berkata, "Yakin kolam ini aman dari sidat?"

Sunyata tertawa mendengar itu. "Ikan naga gak bakal main sejauh ini dari muara, kali, Lang!" Lagi pula, belum ada sidat yang memakan manusia. Bentuknya saja yang seram seperti naga.

Usai pemanasan, dia mulai duduk di pinggir kolam, membiarkan kakinya menyesuaikan suhu dengan kolam. Pada pagi menjelang siang itu airnya lumayan dingin, masih segar dari lereng gunung. "Enak, Lang," sahut Sunyata. "Ayo sini ikut!"

Langsir hanya memicingkan mata.

Tanpa aba-aba, Sunyata langsung meluncurkan seluruh badan ke dalam kolam. Dalam sekejap suara air terjun meredam, digantikan oleh ketenangan. Rasa dingin yang awalnya hanya di sekitar betis kini merayap ke seluruh tubuh. Dia menunggu sampai kulit kepalanya ikut basah sebelum muncul kembali ke permukaan.

"Kok naik lagi?" protes Langsir yang masih melipat tangan. Padahal dia di luar, kena matahari, tapi lagaknya seperti dia yang menyelam.

"Aku kan belum narik napas! Dua tombak itu dalam." Kepala Sunyata sudah basah semua sekarang. Air yang tadinya dingin perlahan terasa hangat di kulit. Berbagai suara di lembah ini kembali memenuhi indranya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 10, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tuan Air MataWhere stories live. Discover now