Hari Merdeka

14 1 0
                                    

Angin sepoi menggebu-gebu, menampar daun kering yang terlantar dan tak sempat disapu oleh Sang Petugas. Riak sungai tak ingin kalah, gemericiknya riang menari mengalir mengikuti lajur membawa kumpulan sampah basah. Pun untuk memadupadankan keduanya, kicau burung ambil alih dan bersenandung girang.

Dari sisi sungai, seorang wanita berambut pendek gelombang tampak ikut menikmati gelora nyanyian Tuan Burung. Ia memejamkan pandang, seolah dapat menulis partitur lagu yang tengah bersemayam dalam indra pendengarnya, abai akan bau busuk dari sampah yang tengah merajai sungai.

Tangannya menggenggam sebuah foto antara dirinya dan sekelompok murid SMA berseragam pasukan pengibar bendera. Jikalau dibanding dengan saat ini, jelas perawakan dalam foto merupakan sosok mudanya. Wajah berseri-seri nan naif itu, kapan terakhir ia tampilkan? Manik polos yang masih mewujudkan pantulan langit lepas, kapan terakhir ia miliki? Liku bibir yang tak terbendung, kapan terakhir dapat ia peragakan?

Seingatnya, dalam foto inilah kali terakhir ia melakukan hal-hal kekanakan itu.

Masa lalunya terkungkung dalam sehelai foto bersama para lawan potretnya.

Dan juga hatinya.

Ia bertanya-tanya seperti apa tanah di seberang sungai sekarang. Hanya ada sulur-sulur yang membentengi tempat itu, menghalangi orang luar untuk dapat menelanjangi kekosongannya.

Dulu ia menghabiskan setengah waktunya di sana pada hari-hari seperti ini. Berperang dengan terik dan lejar, ia akan mengusap peluh yang membasahi dahi dan kembali menatap lurus ke depan. Kaki-kaki yang melangkah tegap meski gemetar karena lelah, punggung yang sudah menempel dengan pakaian lengket, dan kulit yang semakin cokelat. Dulu, mana peduli ia dengan semua itu. Cintanya terlalu besar untuk takluk pada secuil letih. Tekadnya untuk bisa mengibarkan kain suci pada hari sakral itu terlalu besar.

Napasnya serasa tercekik. Hari-hari ini sepi. Merah putih menyambut hari itu dalam sunyi; langkah-langkah tegap belum terdengar lagi; dan cintanya sendiri menipis demi perut yang harus diisi.

Hanya ada kerinduan semasam lemon pada rasa yang dulu begitu kuat ia miliki. Mengapa ia bisa lupa pada bara yang pernah berkobar di mata itu? Mengapa ia bisa lupa rasanya menjadi pahlawan kecil yang berdiri di antara barisan pengibar bendera? Mengapa ia tumbuh dewasa dengan menjual cintanya pada iblis; menjual negerinya meski hanya sekikis?

Situasi saat ini tak memungkinkan untuk bisa kembali mengulang masa-masa itu. Rasa awas dan waspada membentengi hati orang-orang untuk bisa merayakan hari itu dengan meriah. Mereka hanya memasang merah putih tanpa lagu dan melewatkan hari dengan sederhana.

Ini semua karena dirinya.

Ia tak berpikir dua kali untuk meraih tangan sang iblis. Namun, rasa bersalah yang kini mencabik membangkitkan sesak dan rindu.

Ia sendiri yang merenggut masa lalunya. Ia sendiri yang merenggut masa depan negerinya.

Lamunan yang menyesakkan itu runtuh saat indranya menangkap samar-samar suara yang tak asing: sorak sorai yang bernyanyi, langkah-langkah kecil yang berlari.

Ia terkesiap. Dengan jantung berdegup kencang dan hati gugup tak kepalang, ia mengambil jalan sedikit memutar demi bisa menyeberangi sungai itu.

Apa mereka mengabaikan larangan pemerintah dengan perayaan yang meriah atau hanya sekadar kesederhanaan yang suci, ia harus memastikannya. Tidak, yang harus ia pastikan adalah tentang ilusi atau realitas yang kini mempermainkan indranya.

Langkah-langkah tegap semakin keras terdengar saat ia mendekat. Seperti langkahnya dulu. Komando lantang diserukan. Seperti seruan komandannya dulu.

Ia menyingkirkan juluran sulur yang menghalangi dan akhirnya menjejak tanah itu. Tanah yang sama dengan yang ada di kenangannya.

Namun semua suara itu lenyap. Tak ada langkah tegap. Tak ada komando lantang. Tak ada barisan pengibar. Tak ada apa-apa.

Hanya sunyi dan lengang.

"Halo? Ada orang di sana?"

Apa batinnya hanya mengada-ada? Apa alam bawah sadarnya tanpa sadar menyalakan sejumput harapan masa kecil? Terkadang ia bertanya-tanya apakah dirinya benar-benar telah ternodai hati sang iblis, atau ia sebenarnya hanya tercelup permukaan tinta sang pendosa.

Masa-masa dengan harapan menyilaukan itu telah habis tergerus masa. Ia bisa menatap sisa-sisa jejak cahaya pada tiap sudut matanya. Ia pengecut, ia hanya bisa menyalahkan waktu atas langkah hina yang telah ia ambil bertahun-tahun lalu. Menyalahkan beasiswa pemerintah untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Dia pergi begitu saja, melepas tanggung jawabnya sebagai sang pengibar merah putih tanpa memberi amanat ataupun guyuran semangat kepada para penerusnya.

Padahal kedua tangan inilah yang berlaku.

Air mata sunyi mengalir deras membasuh pipinya. Ia kesal. Ia sangat kesal dengan dirinya sendiri. Kini, lihatlah, ia telah mencampakkan tunas kebanggaan dan menguburnya dalam petak tanah tak bernyawa ini. Ilusi menyakitkan itu pantas ia dapatkan sebagai hukuman.

"Kak?"

Ia menoleh. Anak itu—ilusi, mungkin juga bukan—mengintip wajahnya dari balik semak belukar. Penuh tanda tanya.

"Ngapain di sini, Dik?" Tanyanya. Hampir saja ia bertanya, Kau nyata? tapi tentu saja ia menahan diri.

Sang bocah mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan apa yang tersembunyi di dalam genggamannya. "Aku mau mengibar bendera di sini, tapi benderaku kekecilan."

Ia merasa tertampar. Bendera merah putih mungil yang bocah itu genggam terlihat begitu lusuh. Luluh oleh waktu. Seperti dulu saat ia belum jadi anggota paskibra. Ia suka sekali menonton para pengibar yang berbaris tegap dan penuh karisma. Dengan lantunan lagu-lagu kebangsaan dan hiruk-pikuk suasana kemerdekaan.

"Kau hapal lagu Hari Merdeka?" Ia mengambil bendera kecil bertangkai yang tergenggam di tangan si bocah.

Anak bertubuh mungil itu berpikir, lalu menggeleng pelan.

"Ayo bernyanyi bersamaku."

Hanya langkah kecil inilah yang bisa ia lakukan. Dia telah lama merantau ke negeri seberang; belajar, berteman, sembari membangun hubungan bisnis dalam berbagai jaringan. Ia dikenal baik. Bisa saja ia menghabiskan sisa hidupnya di sana untuk menikah, memiliki anak, dan meraih kesuksesan secara finansial dengan lebih mudah. Namun, hati kecilnya tanpa sadar masih meraungkan nama bangsa.

Pelita redup itu menolak untuk pergi dari sudut hatinya. Sakit. Sakit sekali. Ia ingin menuntaskan pendidikannya di luar sana lalu kembali lagi ke kampung halamannya. Tanah tempat ia dilahirkan. Ia ingin menumbuhkan kembali pucuk pucuk harum kebanggaan yang sempat terenggut. Semua ini bukan ilusi, semua ini adalah petunjuk dari alam Ibu Pertiwi. Bocah ini adalah kiriman Tuhan yang Maha Pengasih.

Untuk pertama kalinya ia tidak merasa takut untuk berharap demi sang Tanah Air. Bersama anak ini, ia akan merekatkan kembali puing-puing patriotisme yang semula berserakan dalam jiwanya.

===

Haii Honchoca kembali! Kali ini kami hadir dengan flashfiction khusus tujuh belasan~~ Bagaimana? Rasa harunya dapet gak? Dapetin dong ehe ;))

Ini adalah cerita pertama kami setelah berbulan-bulan tidak membuat projek cerita apa apa. Kami memang sedang sibuk mengurus berkas kesekolahan akhir-akhir ini. Jadi, ya, anggap saja karya ini sebagai penyegar pikiran.

Semoga suka <3

Antologi HonchocaWhere stories live. Discover now