A Bloody Marriage [1]

1.6K 113 7
                                    

"APA? AKU BENAR-BENAR DIJODOHKAN DENGAN DIA?"

Tangis Sarada benar-benar pecah ketika satu kata keluar dari mulut Papa. Fix. Itu kata yang mengerikan untuk hal-hal tertentu.

"Sarada, jangan teriak-teriak seperti itu." Mama menunjukkan wajah kesal, "Ada apa, memangnya? Dia itu tampan, anak orang kaya pula! Apa yang akan kamu ragukan?"

Gadis dengan surai hitam itu menghela napasnya keki. Ingin sekali ia memaki siapapun yang mengenalkan lelaki sialan itu kepada orangtuanya.

"Mama tidak memikirkan imej-ku di depan orang-orang? Masih banyak laki-laki yang jauh lebih baik dari dia!" sergah Sarada masih berusaha mendebat. Jika Dewi Fortuna sedang berpihak, bisa saja ia membuat persetujuan dari papa hilang. Semoga.

"Sarada, kami memilihkan yang terbaik!"

Sarada mengusap wajahnya gusar. Ini soal pernikahan—antara dua orang yang (seharusnya) sehidup-semati. Mana mungkin mama bisa memilihkan, padahal yang menikah itu adalah dirinya?

Lagipula, ini masih terlalu awal. Ia bahkan baru ingin melanjutkan pendidikannya di jenjang perkuliahan. Masih harus fokus menanam bibit-bibit ilmu yang baru. Tanpa diusik apapun.

Sarada juga pernah dengar cerita dari bibi temannya. Suami yang bahkan sok raja di rumah, berangkat subuh pulang dini hari, seolah rumah hanya tempat untuk bersinggah tidur sejenak. Apalagi kalau banyak maunya. Bekal-lah, kopi-lah, antarkan apa-lah. Mana mungkin ia bisa fokus belajar?

"Kalau soal kuliah, nanti juga bisa. Sekarang belajar jadi ibu dulu," tanggap mama pelan, sambil membuka buku novelnya.

Sarada mengacak rambutnya frustasi, "Aku masih belum mengerti, kenapa kalian menjodohkanku. Dan dari mana kalian mengenal laki-laki sialan itu?"

"Sarada!" Mama mengangkat kepalanya lagi, "Berhenti memanggilnya laki-laki sialan. Kamu saja yang tidak tahu, kalau akhir-akhir ini dia ada perkembangan. Kamu bisa memercayainya, Sarada! Oh ya, aku mengenalnya karena dia anak temanku."

Anak teman? Pantas saja begitu mudah! Memercayai? Aduh, bahkan aku yakin kalau mama hanya pernah melihatnya dua kali. Pertama saat mama mengunjungi temannya untuk pertama kali, kedua saat mendiskusikan pernikahan ini. Dasar, mama!

"Perkembangan? Oh, memangnya sejauh mana Mama menguntitnya?"

Kali ini, Papa ikut bersuara,

"Sejak beberapa minggu lalu, tepatnya ketika ia mengusulkan pernikahan ini. Mulai saat itu, ia terlalu semangat sampai mondar-mandir ke rumah temannya," sahut Papa dengan mata tetap fokus pada bacaannya.

Sarada meringis jengkel. Tebakannya seratus persen salah. Kalau begini, akan lebih sulit untuk membatalkan karena mama sudah terlanjur mengenal laki-laki itu lebih dekat.

"Jangan kira kalau Mama ceroboh," timpal Mama lagi, "Mama sudah melakukan observasi lebih dulu, tahu!" candanya.

"Observasi?"

Mama melambaikan tangan, "Lupakan. Ngomong-ngomong, besok ia akan datang ke sini untuk melamarmu."

"MAMA! BAHKAN AKU BELUM PERNAH BERKENCAN DENGANNYA!" seru Sarada kesal sekaligus panik. Pertama dan terakhir kali ia bertemu dengan lelaki itu, saat mama dan temannya berjumpa setelah sekian lama—beberapa bulan yang lalu. Itupun hanya bersitatap selama beberapa detik sebelum kemudian Sarada membuang muka.

Mama tertawa menggoda, "Oh, jadi kamu mau berkencan dulu?"

"Siapa yang mau, sih!" Sarada mengibaskan rambut panjangnya, "Mama, umurku baru dua puluh tahun dan harus segera kembali pada dunia pendidikan! Bukan dunia pernikahan!"

[ ✔ ] a bloody marriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang