Part 1

43.3K 1.8K 40
                                    

Catatan: Ini adalah cerita lama, jangan berekspektasi tinggi. Isinya bucin 🤣.

Mungkin aku memang gila, menerima pinangan laki-laki yang hanya menjadikanku pelampiasan perasaannya. Cinta yang kumiliki buta, dikendalikan oleh otakku yang begitu mendambanya. Hari ini, aku menikah dengan pria yang kucintai. Namanya Rendi, kakak dari sahabatku--Ara. Pria yang sudah bertahun-tahun ada hatiku, meski seringkali kutolak kenyataannya, dengan menerima cinta laki-laki lain yang menyayangiku, namun hatiku pada akhirnya tetap berlabuh padanya, Rendiku.

Dua bulan lalu, dia melamarku, entah apa yang ia pikirkan hingga menjatuhkan pilihannya padaku, yang kutahu, pria ini sedang patah hati. Gadis yang dicintainya--tetangganya sendiri, memilih pergi dari hidupnya, bertahun-tahun yang lalu. Membuatnya patah hati dengan luka yang begitu dalam, tanpa disadarinya, di sini aku menangisi sakitnya, merasa lebih menyakitkan saat melihat luka di matanya itu. Mungkin, beberapa orang mengatakan bahwa cintaku buta, memang ... aku mengakuinya, cinta yang kumiliki sudah buta.

Kuhela napas kasar, Randi masih belum melupakan Shandy--gadis kecilnya yang saat ini berusia 20 tahun. Terpaut satu tahun dariku yang berumur 21 tahun, sementara Randy sendiri kini menginjak usia ke-26. Shandy--cinta pertama Rendi, begitu yang kutahu.

Mengingat bahwa ia mencintai gadis lain, tak juga membuatku sadar untuk berhenti mencintainya. Dalam diam, aku selalu berharap ... masih ada kesempatan untukku dicintai olehnya, suatu hari nanti. Meski, rasanya sangat sulit. Memilih bersama dengan orang yang hatinya bertaut pada perempuan lain bukanlah hal yang menyenangkan, namun bodohnya aku juga tidak cukup sadar diri untuk berhenti.

"Leaaaaa, aaaaa kakak ipar gue ya ampun cantik banget lo, deuh Kak Rendi beruntung banget ya, nikah sama lo," teriak Ara, aku menutup telingaku, Ara tak pernah berubah, selalu berisik dan gaduh.

"Gue lagi yang beruntung, nikah sama Kakak lo, haha."

Aku tidak tahu apakah tawaku ini terdengar mengerikan atau sumbang, beruntung? Ya memang akuyang  beruntung, meski hatinya tak kumiliki saat ini.

"Kak Ren, jagain sahabat gue ya. Awas lo," ucap Ara mewanti-wanti kakaknya. Aku mengulum senyumku.

"Iya bawel." Rendi mencubit kedua pipi Ara yang terlihat agak chubby. Kusaksikan kedua kakak beradik itu tampak bahagia, aku miris melihat Rendi tertawa lepas ketika bersama Ara, menyangsikan tawa itu saat bersamaku.

***

Bayangan itu selalu datang, anganku, pengharapanku dan impianku tentangnya. Kupandangi dalam diam, laki-laki yang saat ini menjadi suamiku, pertama kalinya dalam hidupku, berada dalam satu kamar dengannya, membuatku gugup, terlebih detak jantungku yang tak dapat kukendalikan ketika berada di sampingnya.

"Kenapa?" Dahinya berkerut-kerut, wajah tampan itu terlihat lelah, mungkin karena acara resepsi pernikahan kami yang berlangsung hampir 4 jam lamanya.

"Nggak papa, kakak nggak mandi?"

"Kamu dulu saja."

Aku mengangguk dan mulai meninggalkannya untuk membasuh tubuhku di dalam kamar mandi, mencoba menguatkan diriku dalam menjalani pernikahan tanpa pondasi ini. Dan aku tahu, jalan yang ada dihadapanku adalah jalan dengan ujung tak menentu, tak bisa kuraba bagaimana akhir dari perjalananku ini, kalahkah atau menangkah aku dalam mendapatkan hati Rendi. Benar, aku tak menemukan jawabannya.

Aku keluar dari kamar mandi ketika kulihat Rendi telah terlelap dalam tidurnya yang damai, wajah itu masih sama, terlihat begitu lelah.

Aku tersenyum kecil, sembari merebahkan diriku di sampingnya, inilah pernikahanku, pernikahan dengan malam pertamanya yang membuatku harus banyak merapalkan doa, biar mustajab guna menguatkan hatiku.

Dear, My RendiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang