Illegirl

54 3 4
                                    

Aku penasaran apakah ada cinta yang bisa membuat seseorang menjadi pintar. Rasa-rasanya selama ribuan hari menghabiskan waktu dengan menenggelamkan diri ke dalam kubangan perasaan cinta dan terus terjatuh tanpa berniat untuk bangkit, orang-orang selalu mengatakan bahwa aku ini amat sangat tolol karena jatuh cinta pada Kim Seokjin.

Ia tampan dan memiliki perangai yang baik. Lalu letak salahnya dimana kalau aku jatuh cinta padanya?

Seokjin tidak pernah marah-marah atau berlaku kasar saat aku berbuat salah. Ia akan mengoreksi sikapku lalu memberitahu aku seharusnya begini atau begitu.

Seokjin juga pintar. Ia selalu membuatku terkagum-kagum saat dirinya berhasil menyelesaikan suatu hal yang tidak bisa kukerjakan seorang diri.

Kim Seokjin itu sempurna. Aku merasa sangat beruntung bisa menerima balasan cinta yang tercipta sejak pertama kali bertemu.

Dia pacar yang sempurna. Aku menyukainya sampai tergila-gila. Tak peduli orang-orang terus menganggapku bodoh dan tolol karena jatuh cinta dengannya, aku tetap suka padanya.

Seokjin menyukaiku, bahkan cinta mati kepadaku. Kenapa aku sebegitu hinanya karena menginginkan dia?

"Tidak apa-apa." Ia berkata suatu hari. Jemarinya yang panjang itu begitu telaten mengusap air mata di pipiku. "Jangan dengarkan apa kata orang lain."

Aku merasa baikan. Bahkan kembali berbunga-bunga saat ia mengecup kedua kelopak mataku agar aku berhenti menangis. Bibirnya yang tebal dan penuh itu selalu menjadi kesukaanku, apalagi ketika membentuk senyuman manis di sela ciuman kami.

Aku tergila-gila dengan pria ini. Aku hanya menginginkannya bersamaku. Sesederhana itu. Seokjin pun tak kalah sama besar untuk menginginkan aku bersamanya, terbukti pada saat ia membeli sebuah apartemen untuk kami tinggali berdua.

Tetapi, orang-orang malah makin menjadi-jadi saat melontarkan ujaran buruk tentangku. Karena hal itu, semakin sering pula Seokjin menarikku ke dalam pelukannya yang hangat agar aku berhenti panik di tengah malam.

"Abaikan orang lain dan dengarkan aku saja," katanya, masih tak menghentikan usapan lembut dari telapak tangannya yang lebar pada punggungku. "Kalau aku punya uang banyak, kita tinggal di Mars saja selamanya."

Aku tertawa. Seokjin pun sama. Dapat kurasakan pipiku yang menempel di dadanya ikut bergetar.

Menyadari aku sudah lebih tenang dan dapat bernapas normal kembali, Seokjin lantas melepasku dari pelukannya. Tatapannya tampak sayu dan kuyu, seakan beban dari pekerjaannya di kantor seharian ini masih menumpuk di bahu lebarnya.

"Kita sama-sama jatuh cinta. Apa pentingnya ucapan orang lain yang hanya berupa cibiran omong kosong? Jangan takut aku akan meninggalkanmu."

Aku percaya. Seokjin tidak berbohong. Ia bahkan menghapus jarak dan lagi-lagi aku dibuat berdebar oleh ciumannya yang terasa manis. Seokjin benar-benar jatuh cinta denganku dan tidak ada salahnya bagiku untuk menginginkan dirinya seutuhnya.

Namun tetap aku tidak bisa menghindari saat dimana sebuah ucapan ataupun gestur tubuh yang berupa cibiran kembali datang seperti rutinitas.

"Duh, kau ini tidak tahu malu atau apa sih?" Seseorang tiba-tiba berujar saat aku dalam perjalanan pulang. Ia berdecak lalu melanjutkan, "Tidak tahu diri sekali ya kau ini berusaha memiliki pria itu?"

Aku menatap heran. Kalau tidak salah, wanita ini salah seorang karyawan di kantor lama Seokjin sebelum pindah. Namun aku tidak perlu peduli kan? Seokjin sendiri yang bilang begitu.

"Maaf, kurasa ini bukan urusanmu," kataku, berusaha terlihat ramah kendati ingin sekali cepat-cepat pulang ke apartemen.

Ia tersenyum miring. Kulihat tangannya bersedekap di atas perut saat menghadap penuh padaku.

"Wah, sekalinya jalang tetap jalang. Kau ini merusak hubungan Seokjin dengan temanku. Belum puas juga melihat keluarga pria itu mengusirnya karena dirimu?"

Aku tak bereaksi. Tubuhku stagnan di tempat. Udara seolah lenyap dari paru-paru. Napasku tersendat dan leherku seakan dicekik erat.

"Dasar tidak tahu malu." Ia mendesis jengkel kemudian pergi dengan raut jijik.

Perlahan sekujur kaki serta telapak tanganku mulai gemetar dan berkeringat. Buru-buru aku membuka resleting tas guna mengambil ponsel. Beruntungnya, panggilan teleponku langsung diangkat dalam hitungan detik.

"Seokjin, kau mencintaiku kan?" Tandasku, berusaha tak hilang kendali atas suaraku yang mulai bergetar.

"Eh? Tentu saja. Kenapa? Apa ada masalah?"

Aku mematikan telepon lalu bersandar pada dinding terdekat. Berusaha mengatur napas dan mengendalikan emosi agar tak menangis.

Seokjin jatuh cinta denganku dan tak ada salahnya bagiku untuk memilikinya, kan? Sekalipun ia sudah memiliki calon tunangan dan hampir menikah sebelum aku datang.

***

Thanks for reading!

Thanks for reading!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
IllegirlWhere stories live. Discover now