Part 1

3.3K 192 17
                                    

--Cara elegan membalas suami yang berselingkuh--

****

"Lin? Kamu yakin tengah mengandung anakku? Bisa jadi itu anak orang lain atau siapa pun itu. Jangan menipuku! Kita tidak pernah tidur bersama," tuding Harim tak terima.

Dari balik pintu aku mencuri-curi dengar pembicaraan sepupu dan suamiku.

"Aku tidak berbohong, Mas. Kamu enggak ingat terakhir kali kita bertemu malam itu ... Aku ... kita melakukan itu ... dan ...." Lina tak melanjutkan perkataannya lagi. Sedangkan aku,  tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan wanita yang dikhianati oleh suami dan sepupunya sendiri.

Hancur berkeping-keping!

"Jadi, sekarang gimana? Aku dan Naya telah resmi menjadi suami istri hari ini. Enggak mungkin kami bercerai. Aghhhh! Kenapa jadi gini?" Harim menggeram marah.

"Kamu udah janji, Mas. Sebelum menikahi kak Naya, kamu akan menikahiku lebih dulu. Tapi sekarang apa? Kak Naya yang kamu nikahi. Kamu enggak mikir apa? Anak yang ada dalam kandungan ini butuh seorang ayah."

Ya Tuhan drama macam apa ini? Azab atau suara hati istri?

"Tenang Lin! Tenangkan dirimu. Aku punya ide, lagipula sudah lama aku ingin memutuskan hubungan dengan Naya," timpal Harim, cukup lama aku hanya berdiam diri di balik pintu. Menyimak dengan wajah pias. Benar-benar menjijikkan!

"Aku mau kita menikah."

Lina mendesak suamiku agar mau menikahinya. Perempuan ular tidak tahu balas budi.

"Tapi ...."

Ya, suamiku. Terima saja, toh jika kita pisah kamu sudah menanam saham terlebih dahulu. Benihmu akan tumbuh di rahim wanita pengkhianat. Semoga kelak anakmu juga tidak menjadi pengkhianat.

"Tapi apalagi, Mas? Apa bagusnya kak Naya? Dia cantik aku juga tak kalah. Plus-nya dia pengusaha, dan aku? Bisa jadi ibu rumahtangga yang baik untuk calon anak kita suatu hari nanti. Kamu pilih wanita karir, tapi tidak bisa mengurusmu dengan baik. Pilihlah ibu rumahtangga yang selalu siap siap sedia mengurusmu. Mikir, Mas!"

"Kamu benar."

Bagai kerbau yang tengah dicucuk hidungnya. Suamiku langsung menuruti kemauan wanita ular itu.

Sepertinya aku terlalu lama berdiam diri. Tak tahan terus dicecoki aku masuk dengan tenang ke dalam kamar Lina. Wanita ular!

Oh ya Tuhan! Lihatlah dia! Bibir merah merona, baju kekurangan bahan, dan tas branded kW import entah darimana. Sepertinya aku terlalu jauh dalam menilai.

"Benar, Mas. Terima saja Lina. Kasian anaknya nanti enggak punya ayah. Lagipula kalian sama-sama cocok. Menikah saja sebelum perutnya membesar. Kasihan digunjing tetangga karena perut membesar itu lebih sakit daripada digigit anjing peliharaan sendiri," sarkasku tajam.

Wajah Lina tak lagi manis seperti biasanya.  Sarat akan kebencian. Sorot mata itu mengingatkanku pada pelacur yang dibawa pulang papa.

Bibit memang menentukan jenis pohon. Baik atau buruk.

Mas Harim berusaha meraih pergelangan tanganku. Belum sampai kami bersentuhan, aku mundur dua langkah.

"Nay? Percayalah kami tidak melakukan apapun. Aku tidak pernah mengkhianatimu. Nay? Percaya sama aku, kan? Please! Nay?"

Kutu kupret, cacing kremi, angsa liar, bodo amat. Aku tidak peduli. Lagipula sudah lama aku menaruh curiga pada dua cacing kremi ini.

"Kalian berhak melakukan apa saja yang kalian mau, dan aku berhak berpikir apa yang kalian lakukan itu sangat tidak pantas."

"Dan kamu Lin. Inikah balasan yang aku terima? Setelah susah payah mengeluarkanmu dari tempat sampah, menjijikkan!"

"Kamu dan ibumu itu sama aja ya Lina ternyata. Sama-sama perusak rumah tangga orang. Malu tau gak gue punya sodara kayak Lo."

Mas Harim dan Lina hanya terdiam. Aku sangat yakin sedikit saja aku memaki lebih panjang, ia akan menampakkan wujud aslinya. Menangis seakan-akan paling terzalimi. Ya ampun aku berdosa banget, solimi.

"Mas?"

Aku tak salah tebak. Lina mengeluarkan senjata andalannya. Lalu menangis sesenggukan.

"Air mata buaya."

"Yang deras terus. Seakan-akan kamu yang paling terzalimi di sini."

"Dih lebay."

Aku gencar memanas-manasi Lina. Namun hal yang tak terduga terjadi.

"CUKUP NAY!" bentak suamiku cukup kasar. Tak cukup sampai disitu dia ikut balas memakiku.  "Kupikir kamu itu perempuan baik-baik. Lemah lembut dan pengertian. Tapi sekarang apa? Aku kecewa Nay."

Oh, ya? Dia pikir aku juga sedang baik-baik saja, hah?

"Maksudmu pelacur di sampingmu itu lebih baik daripada aku, Mas?"

Suasana ini benar-benar  membuatku gerah ya Tuhan. Aku ingin menangis keras saat mas Harim membela seorang pelacur daripada istri sahnya sendiri.

Mas Harim mengepalkan kedua tangannya. "Lina ini sepupu kamu, Nay. Masalah ini bisa kita bicarakan baik-baik jangan menghujatnya."

"Ketika seseorang tengah menunduk jangan diinjak, saat mereka bangkit kamu akan terjungkal. Karena mereka lebih kuat daripada kamu. Paham!"

Kulempari mas Harim dengan ponsel yang da di tanganku.

"Kalian terlalu menjijikkan! Maaf aku terlalu banyak bicara. Biasanya sekali diundang menjadi motivator aku dibayar sepadan. Kalian bisa bayar berapa?"

Secepat kilat aku berlalu dari hadapan mereka. Tunggu saja pembalasan dari Nayanika! Aku tidak terima mereka mempermalukanku seperti ini. Pembalasan yang elegan itu sudah cukup.

Tak ubahnya kelakuan mereka berdua. Tapi tunggu? Kemana ponsel baruku? Ya Tuhan aku melemparnya tadi.

Tak menunggu lebih lama. Aku berbalik kembali ke tempat semula. Untuk mengambil ponsel dan  mengatakan sesuatu yang akan membuat mereka berdua tercengang. Heh!

"Kembalikan ponselku." Aku merebutnya dengan paksa dari tangan mas Harim.

"Dan satu lagi, Mas. Aku akan melayangkan gugatan cerai besok. Kita akan bertemu di persidangan nanti. Jangan lupa hadir aku punya hadiah untuk calon anakmu."

Aku bergegas pergi. Jika boleh jujur aku sangat ingin menangis saat ini juga.
Perempuan itu tak boleh lemah dan mudah menangis apalagi di depan orang yang tidak menyukaimu.

Cam kan itu!

Bersambung .....

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 26, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kupulangkan Suamiku [Hiatus]Where stories live. Discover now