Tränen der Sonne

606 15 2
                                    

Ketika bel berbunyi, Will sudah menghilang. Dia sama sekali tidak mengatakan apa- apa padaku lagi. Aku tiba- tiba merasa marah dan malu. Apa dia benar- benar mempermainkanku? Melihat sikapnya seperti itu, aku jadi yakin bahwa firasatku benar. Aku mengemasi buku- bukuku dengan kasar.

“ Idiot..kenapa aku begitu mudah tertipu olehnya.” Aku meninggalkan kursiku, bergumam sendiri dalam kemarahan. Rasanya aku ingin meluapkan kemarahan pada seseorang. Sayangnya, di sekolah baru ini belum ada yang cukup dekat denganku (Kecuali Hanna dan Davis, tapi aku sedang marah pada mereka). Aku berjalan keluar kelas dan melihat seorang cowok berambut pirang dan tampan bersandar di lorong dan berbicara kepadaku.

“ Kau Claire Riddle kan?” Ia memasang wajah dengan senyum yang pasti membuat banyak cewek meleleh. Tapi aku sudah kebal mungkin karena senyum Will lebih mempesona dari miliknya. Dia mengenakan seragam tim rugby sekolah kami.

“ Panggil Claire saja.” Ujarku.

Cewek- cewek yang ada di sekitar kami berbalik dan memandangiku dengan wajah menakutkan. Tapi sepertinya cowok ini sama sekali tidak memperhatikan.

“ Habis ini kau masuk kelas apa?” Tanyanya dengan suara dalam dan menghanyutkan. ( Cewek- cewek sudah mendesis iri)

Aku mengeluarkan catatan di kantongku.

“ Mmm...Ekonomi dengan Prof Lockhart di gedung 2.”

“ Oh.. benarkah aku baru saja mau kesana.” Dia menunjukkan sikap dibuat- buat. Aku tidak yakin dia memiliki tujuan ke gedung dua.

“ Aku Liam.” Tambahnya.

Aku mencoba membalas senyumnya yang kelewat ramah.

Beberapa murid- murid (kebanyakkan cewek) berusaha menguping pembicaraan kami begitu dekat. Aku bergerak gelisah, sepertinya cowok ini sangat populer disini. Kalau begitu aku harus berhati- hati. Didekati cowok populer berarti mempunyai banyak musuh, aku sudah berpengalaman dalam hal ini.

“ Err... tidak usah. Aku sudah tahu gedung 2 ada dimana.” Aku berusaha menolak dengan lembut. Tapi sepertinya cowok ini sudah bertekad tidak menerima kata ‘tidak’ dariku.

“ Yah, kalau begitu kita berjalan bersama saja.” Dia mengikutiku dan berjalan di sampingku. Aku berusaha menambahkan jarak saat jalan bersamanya.

“ Sebelumnya kau tinggal dimana?” Tanyanya.

“ London.”

“ Wow...seperti apa rasanya tinggal di kota besar?” Ia membayangkan.

“ Menyenangkan.” Jawabku singkat dengan nada malas. Tapi dia benar- benar tidak putus asa dan mengeluarkan begitu banyak pertanyaan sampai membuatku kesal.

“ Kau sudah mengunjungi pantai Douvres?”

“ Belum. Aku belum sempat kemana mana.” Aku baru sadar, selama 2 hari tinggal di kota kecil ini aku belum sempat kemana- mana mengingat banyak  hal- hal aneh yang sudah terjadi.

“ Kau belum kesana? itu salah satu tempat terbaik di kota ini. “ Tanyanya dengan nada tidak percaya. Aku hanya angkat bahu.

“Apa kau mau ke pantai bersamaku?  Sabtu sore tim rugby kami akan berwisata untuk merayakan kemenangan kami sebagai juara musim panas ini.”  Dia menambahkan dengan matanya bersinar- sinar ceria. Dia memandangku dengan penuh pengharapan, mengamati ekspresi wajahku.

Kami sudah ada di depan pintu kelasku yang terletak di ujung lorong. Orang- orang mengawasi kami yang masih berdiri di pintu kelas. Dia menungguku mengeluarkan jawaban.

“ Well, baiklah.” Rasanya begitu tidak tega jika aku menolak. Dia tersenyum lebih lebar, dan kemudian merogoh saku celananya. Mengeluarkan smartphonenya.

dangerous & SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang