2 - Soal Matematika

102 40 37
                                    

"Hari ini gue harus berterimakasih sama Syahreal." Ascha bergumam sendiri di saat ia tengah berjalan menuju kelasnya. Ia sudah tiba di sekolah sejak lima menit yang lalu.

Ascha memasuki kelas. Suasana kelas masih sepi karena siswa yang datang baru sedikit, bahkan bisa dihitung jari. Saat ini jam menunjukkan pukul enam lebih lima pagi. Tampaknya Ascha datang terlalu pagi. Itu menurut Ascha. Biasanya, di tahun ajaran sebelumnya Ascha selalu tiba di sekolah pukul enam lebih dua puluh atau lebih tepatnya sepuluh menit sebelum bel tanda jam pelajaran di mulai berbunyi karena jam masuk sekolah pukul setengah tujuh pagi.

Ascha menyimpan tas nya di kursi, lantas ia menghampiri bangku Syahreal. Cowok itu sedang membaca buku. Seseru itukah isi buku yang dibaca Syahreal sampai ia tak menyadari kehadiran Ascha yang berdiri di samping meja sambil memperhatikannya?

"Hai!" Ascha menyapa Syahreal, tetapi Syahreal tak membalas sapaan dari Ascha, bahkan meliriknya pun tidak. Syahreal masih setia dengan buku yang ia baca.

Ascha menatap dengan tatapan tak percaya. Bisa-bisanya Syahreal menganggapnya tidak ada, tetapi Ascha tidak langsung pergi. Ia beralih duduk di bangku depan Syahreal. Ia berbalik badan agar bisa mengobrol berhadapan dengan Syahreal.

"Ekhem!" Ascha berdehem, padahal tenggorokannya tidak gatal sama sekali. Namun, usahanya sia-sia. Kehadirannya sama sekali tak ter-notice oleh Syahreal.

"Syah-" Baru saja Ascha hendak memanggil, Syahreal sudah menjawab, "Apa?"

"Gue mau berterimakasih karena lo udah nolongin gue kemarin," ucap Ascha.

"Iya," balas Syahreal pendek. Lagi-lagi Syahreal masih fokus dengan bukunya.

"Oiya, luka lo gimana? Udah di obatin?" tanya Ascha lagi mengingat kemarin Syahreal memecahkan kaca jendela dengan bahu kanannya.

Orang yang diajak bicara tak merespon. Mungkin saja luka di bahu Syahreal sudah di obati. Mana mungkin dibiarkan begitu saja.

Ascha bertanya lagi dengan hati-hati, "Pasti sakit kan?"

Pertanyaan Ascha yang satu ini sukses membuat Syahreal mendongak. Cowok itu menatap Ascha dengan tatapan galak. Hal itu membuat Ascha sedikit menciut. "Oh bener ya." Ascha menutup mulut.

"Sebagai tanda terimakasih, gue mau traktir lo," tukas Ascha setelahnya. Sayangnya, perkataan Ascha ini terdengar oleh Lionel dan Vano yang baru saja memasuki kelas.

"Apa? Traktir? Boleh banget, Cha!" Sahut Lionel yang menyimpan tasnya di atas meja dan duduk di samping Syahreal, sedangkan Vano duduk di samping Ascha karena bangku yang Ascha tempati adalah bangku Vano.

"Gak usah repot-repot, Cha. Cukup ke kantin aja," sambung Vano.

"Jangan ke kantin! Bikin Ascha repot aja lo. Ke tukang bakso aja, Cha!" ujar Lionel.

"Tukang bakso mana woy! Tempat yang kebakar kemarin?" tanya Vano. "Lo mau kesana? Makan noh Areng sampe puas!"

"Apa sih! Lagian siapa juga yang mau traktir lo berdua! Gue cuman mau traktir Al."

"Gak usah sok deket. Jangan panggil Al!" tutur Syahreal pada Ascha dengan nada ketus.

Ascha memprotes, "Syahreal sama Al tuh sa-" Ascha berhenti bicara saat mendapat tatapan galak dari Syahreal.

"Sa-sasa! Gue inget tepung sasa di rumah gue, hehe." Ascha terkekeh hambar, padahal apa yang ia katakan tidak lucu sama sekali.

"Di mana pun lo mau traktir, kita pasti mau kok. Al, juga mau kok, ya, kan?" Lionel menepuk-nepuk bahu Syahreal.

"Okey, lo berdua boleh ikut," kata Ascha pada Lionel dan Vano.

"Yes!" seru Lionel dan Vano girang.

EQUANIMITY [UNPUBLISH SOON]Where stories live. Discover now