Part 2

4 2 2
                                    

Jangan mencintai Al Qur'an karena makhluk-NYA. tetapi, buatlah seluruh hambaNYA mencintai Al-Qur'an karenaNYA.

***

H-7

Akhir sannah semakin dekat. Aku lega karena hafalanku sudah hampir tuntas. Lima tahun lamanya aku yang bebal ini mencoba menghafal seluruh kalamullah dengan susah payah. Mungkin karena memang niat awalku menghafal adalah salah. Sehingga Allah menunjukkan padaku betapa menyakitkannya berharap terlalu mendalam kepada selain DIA.

Saat ini aku berdiri di depan cermin kecil di kamar asrama kami. Membenarkan penampilanku dan mengoleskan beberapa make-up agar wajahku tidak nampak mengerikan. Ini hari penting dalam hidupku, mulai hari ini aku akan duduk di hadapan para guru-guru besar di seluruh Kudus untuk menyetorkan hafalanku terakhir kalinya. Ini adalah langkah akhir perjalanan panjangku selama ini, dan mendapat gelar 'Khafidhoh' secara resmi dari pemerintah. Oleh karena itu, aku tidak mau mengacaukannya dengan kondisi fisikku yang semakin memburuk.

'Aku mohon, Ya Roob. Beri aku kesempatan untuk mewujudkan satu-satunya impian terbesarku ini' lirih hati kecilku sebelum melangkah keluar kamar.

Sekarang, aku berhadapan dengan enam guru besar pesantren - pesantren di Kudus untuk menunjukkan hasil kerja kerasku selama ini. Sensasi duduk di hadapan keenam Kyai besar ini sungguh luar biasa. Mulai dari gugup, ragu, hingga gemetaran bercampur menggerogoti kepercayaan diriku. Rasanya lutut lemas, dan perutku bergejolak mengerikan. Namun, seseorang mengulurkan tangan lembutnya, menggenggam jemariku yang dingin, dan berkata penuh semangat, "semangat, Kak Afi! Jangan tegang! Aku selalu di sini bersamamu, kok. Kakak pasti bisa," bisiknya dengan wajah polos tersenyum sempringah. Aku membalas senyumannya sekilas dan mulai buka suara.

Surah pertam, Al Baqoroh.

Lantunan suaraku terdengar bergema di dalam ruangan tembok berukuran 5x10 meter ini. Hingga cukup jelas untuk didengar oleh keenam guru besar di ujung ruangan sana. Sempat kulirik sekilas di samping kananku, Himma Nurussyifa yang sudah seperti adik kecilku nampak serius menyimak hafalanku.

Di usianya yang baru genap 20tahun ini dia bukan hanya hampir menghafal Al qur'an 30 juz. Namun juga telah menghafal 3000 lebih hadist sokheh Bukhori-Muslim. Sungguh dialah gadis sempurna yang membuatku iri dengan prestasi-prestasinya. Meski begitu tetap tidak ada yang sempurna di dunia ini, dan dia punya satu hal kecil yang membuatnya dijauhi beberapa orang. Yaitu karena dia terlalu jujur. Kadang justru dia nampak membuat dinding tak kasat mata dengan sikap angkuh dan sok juteknya pada semua orang. Padahal di balik itu semua, dia tetaplah gadis yang polos dan kekanakan.

Sreekk.
Jemarinya membalik lembaran muskhaf berikutnya menunjukkan angka 3 disudutnya, ayat ke 40 yang akan mulai kujajaki. Mulutku terus melantunkan ayat-ayat suci yang di simak baik-baik olehnya sambil kembali teringat memori-memoriku dengan gadis yang lebih tinggi dariku sekitar lima centi.

Ah! Tidaj terasa sudah tujuh tahun kami saling mengenal hingga berakhir dengan persahabatan yang manis ini.

Awalnya aku yang seorang santri baru di pesantren besar ini sama sekali tidak memiliki rekan akrab. Karena buruknya sikapku dalam bergaul. Apalagi perceraian ayah dan ibu sebelum kembali ke Dubai untuk bekerja sebagai TKW menghancurkanku dengan telak. Menempelkan citra buruk di tubuhku sebagai anak broken home.

Sejak sekolah menengah pertama, Ibuku sudah bekerja di sana dengan kontrak kerja yang panjang. Janji penghasilan besar demi kehidupan keluarga yang baik membuat Ibu betah merantau ke negeri orang. Ditambah lagi dengan memiliki majikan yang amat baik. Membuatnya seolah tanpa beban meninggalkan aku dan Ayah si rumah.

Tadinya, semua baik-baik saja di awal. Aku bersekolah, dan mondok di daerah asalku dengan biaya lancar. Namun, semua berubah semenjak aku lulus sekolah menengah atas. Karena aku dan Ayah sudah memutuskan, kami tidak ingin Ibu pergi bekerja lagi. Kami ingin meminta Ibu tinggal di rumah. Jadi, begitu aku lulus sekolah, kami sepakat meminta ibu untuk berhenti.

Di luar dugaan kami, respon Ibu sungguh mengerikan. Amarahnya pecah, tangisnya membuncah. Ibu mengamuk dan membanting barang-barang hingga berserakan. Aku langsung berlari, sembunyi di kamar atas perintah Ayah. Sedangkan Ayah berusaha mati-matian menenangkan beliau. Mencoba menjelaskan dengan perlahan niat hati kami hanya ingin Ibu kembali menghabiskan waktu lebih banyak bersama kami. Memperhatikan kami lebih sering seperti kebanyakan Ibu rumah tangga.

Namun ... tangis ibu semakin pecah. Raungannya terdengar menyakitkan hingga ke kamarku. Beliau semakin meracau dan menuding Ayah lalai menjalankan kewajiban mencari nafkah. Hingga keadaan memaksa Ibu yang seorang wanita bekerja lebih keras dari seharusnya. Apalagi saat itu salah seorang teman Ibu yang telah lama bekerja sebagai TKW menawarinya pekerjaan yang menggiurkan ini. Hingga tanpa pikir panjang mereka menyepakatinya saat itu.

Kini, saat kami meminta Ibu berhenti, beliau justru sudah terlanjur menjalin kontrak lebih lama lagi dengan sang majikan. Memperjelas pada kami bahwa segalanya telah terlambat. Keadaan sudah terlanjur berbalik sejak enam tahun lalu. Perih di hati Ibu karena luka yang tidak sengaja Ayah torehkan ternyata sudah menganga terlalu lebar, Ibu sudah terlanjur kecewa. Dan dengan entengnya Ayah meminta Ibu untuk berhenti begitu saja tanpa menghiraukan kontrak yang terlanjur Ibu tandatangani. Tidak ada kata maaf atau penyesalan yang sedikitpun terlontar dari bibir Ayah. Membuat Ibu mengatakan kata sakral itu dengan dada penuh sesak dan suara tercekat hebat.

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Aku tidak bisa terus bersabar dengan sikapmu yang begitu egois. Aku ingin kita bercerai." Dengan itu seketika duniaku hancur. Kegelapan yang melingkupiku terasa begitu menyesagkan dada hingga nyaris meraup sebagian kesadarabku. Kata-kata Ibu sukses membuatku mati rasa, hingga tanpa sadar airmata sudah luruh deras membanjiri hijab, dan selimut yang sedari tadi aku dekap.

Bahkan, aku masih belum sadar sepenuhnya saat Ibu memasukkan seluruh pakaian ke koper besar, dan menarikku keluar dari rumah. Dengan menaiki taxi entah sejak kapan Ibu pesan, kami pergi meninggalkan rumah yang telah menjadi saksi tumbuh kembangku selama 17 tahun ini.

Esok harinya, aku dan Ibu sudah sampai di pesantren ini. Jauh dari kota tempat tinggal Ayah, jauh dari seluruh kenanganku di desa terpencil itu. Ibu terus memelukku di sepanjang perjalanan. Beliau sama sedihnya hingga tidak sanggup mengatakan apapun padaku. Hanya terus memeluk, menangis tersedu, dan terus mengucapkan kata 'maaf'.

Sedikit banyak aku paham perasaan Ibu, tapi yang tidak aku mengerti, mengapa Ibu tidak pernah membagi bebannya sedikitpun padaku, atau pada nenekku, Ibunya. Bahkan ... mendiang kakek meninggal dengan perasaab bangga karena memiliki seorang putri yang sukses, dan berhasil dalam rumah tangganya. Mengingat di jaman sekarang banyak rumah tangga yang kandas tanpa alasan jelas.

Meminta penjelasan pada Ibu di saat seperti itu pun, percuma saja. Akhirnya aku memilih diam, dan menyimpan rasa sakitku sendirian. Setelah merasa cukup tenang, esoknya Ibu pergi ke bandara untuk kembali bekerja menyelesaikan kontraknya yang masih tersisa 2 tahun lagi.

Sebelum pergi, Ibu berjanji ini yang terakhir kalinya beliau bekerja. Setelah ini, beliau berjanji akan membangun usaha kecil di rumah, dan menghabiskan seluruh waktunya denganku. Jadi beliau memintaku bertahan di pesantren ini selama 2 tahun saja lagi. Meski berat hati, aku tetap mengangguk sebagai jawaban.

Namun, keadaan berubah saat aku bertemu Himma. Gadis remaja 13 tahun yang begitu periang, liar, dan bawelnya bukan kepalang. Hatiku yang saat itu hampa, dan kosong semenjak perceraian orangtuaku. Hatiku kembali menghangat saat bertemu gadis remaja yang super usil ini.

.
Srek.
Ayat ke 70, halaman 5. Senyumku mengembang dengan sendirinya, meski airmataku pun, luruh dengan perlahan. Sungguh mirisnya hidupku, setelah kegelapan menghantamku, menghancurkanku dalam semalam, esoknya Allah datangkan sosok malaikat dalam wujud seorang gadis remaja yang mampu menerangkan hidupku lagi dalan sekejap

Aku melirik gadis di sampingku ini lagi sesaat. Dia menoleh, lalu tersenyum dengan begitu manis seperti biasanya. Membuatku tertular dengan perasaan damai, hingga ikut menyunggingkan senyum meski agak kaku.

Terimakasih, dan ... maaf, Dek Himma.
.
.
.
To Be Continued.

Вы достигли последнюю опубликованную часть.

⏰ Недавно обновлено: Nov 18, 2022 ⏰

Добавте эту историю в библиотеку и получите уведомление, когда следующия часть будет доступна!

The Last Dream (Impian Terakhir)_Hiatus_Место, где живут истории. Откройте их для себя