1. begin again

3.4K 266 2
                                    

Hari itu sebenarnya tidak jauh beda dengan hari hari yg biasanya Jisung lewati. Bangun tidur, pergi ke toko tempat ia bekerja, lalu pulang .

Jisung memang tidak seberuntung teman sebayanya yg lain, yg bisa melanjutkan studi perguruan tinggi dan mengejar cita cita mereka. Menyadari keadaan keluarganya pun Jisung sadar kalau ia tidak berhak merasakan semua itu.

Tinggal di kota yg tidak begitu ramai dan tidak begitu sepi, Jisung menyukainya. Hamilton adalah tempat yg sempurna menurut Jisung. Tapi juga membuat dirinya jauh dari semua teman temannya.

Dibanding kota tenang seperti Hamilton, orang akan lebih menyukai untuk menyekolahkan anak mereka ke universitas ternama yg ada di kota centric seperti New York, atau jauh ke California.

Teman teman Jisung sibuk. Mereka yg kuliah sibuk dengan studinya, ada yg pindak ke luar kota bahkan luar negeri untuk mengejar pendidikan, dan mereka mencari nafkah lebih memilih pergi ke New York atau kota besar di sekitarnya agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan.

Sedangkan Jisung, baginya sangat tidak mungkin untuk pergi dari kota kelahirannya ini.

Jisung memilih untuk menuntun sepedanya dalam perjalanan pulang dari tempat kerjanya yg tidak begitu jauh. Tapi tetap saja, mengulur waktu membuat dirinya telat pulang.

Langit sudah berubah gelap saat Jisung berjarak 3 rumah sebelum rumahnya.

Langkah Jisung berhenti di depan rumah gelap yg berada tepat di sebelah rumahnya. Sudah hampir dua tahun, rumah itu gelap tak berpenghuni. Meskipun Jisung terus menunggu penghuninya kembali, itu tidak pernah terjadi. Rumahnya benar benar kosong tertinggal bahkan tanpa ada container pengangkut barang yg pernah mampir ke sana.

Mereka tidak pindah. Jisung ingin mempercayai itu.

Beberapa langkah dari rumahnya, Jisung menangkap satu hal yg membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Yaitu sebuah mobil hitam yg terparkir di halaman rumahnya.

Tapi Jisung tidak bisa menghindar. Akhirnya ia melanjutkan langkahnya menuju rumahnya, memarkirkan sepedanya di tempat biasanya, lalu membuka pintu rumahnya yg tidak terkunci.

"Aku pulang..." meski tau tidak akan mendapat sahutan Jisung tetap mengucapkannya.

Masuk ke dalam rumah, jisung samar mendengar suara televisi dari ruang tengah. Menuju tangga, melewati ruang tengah, Jisung melihat tidak ada siapapun di depan telvisi yg menyala itu. Jisung menelan liurnya sendiri, lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai 2, tempat kamarnya berada.

"Heh,"

Jisung menghentikan langkahnya.

"Mana uangnya?"

Setelah menghela nafas kecil, Jisung membalikkan badannya. Mencari cari amplop coklat di dalam tas ranselnya, lalu menyerahkannya kepada yg meminta.

"Harusnya kamu jual diri aja atau paling engga tambah jam kerjamu, dasar anak nggak berguna."

Sang ayah–yg meminta uang tadi–membuka amplop coklat yg di beri Jisung lalu menghitung isinya.

"Cuma segini?"

Jisung menunduk, tau kalau hal ini akan terjadi.

"Pemilik toko memang memotong semua gaji karyawan jadi cuma segitu yg Jisung dapat..."

Ayah Jisung berdecih, "bajingan. Kamu ini licik juga ya?" Bisiknya di depan wajah Jisung. "Sekarang ayo ngaku dimana kamu sembunyikan sisanya!"

Tas jisung ditarik paksa,

"Pa!" Jerit Jisung.

"Sudah saya bilang jangan panggil saya pakai sebutan itu!"

Isi tas Jisung dikeluarkan, sang ayah tidak akan mempercayai ucapan Jisung yg menurutnya tidak masuk akal itu, sementara Jisung terus meremat hoodie nya sendiri.

Intoxicate | HyunsungWhere stories live. Discover now