BAGIAN ▪ XI

11.6K 2K 1.2K
                                    

NB : Sangat disarankan baca part sebelumnya

Aku merasakan kehangatan sekaligus ketenangan yang Mas Ditya berikan melalui pelukannya. Sampai aku mengurai pelukan itu, Mas Ditya masih memperhatikanku. Telunjuknya tergerak untuk menghapus bulir air mata yang belum mengering dari pipiku.

"Berdarah ini, kita obatin dulu ya." bisik Mas Ditya pelan, sembari menuntunku untuk mendapat pengobatan.

Aku masih menurut dan mengekori langkah Mas Ditya tanpa banyak mendebat. Perlahan, aku mencoba meraba pipiku yang tadi tergores kuku lancip mantan ibu mertuaku. Agak perih, namun tetap saja tak akan menandingi perihnya ucapan Ibu barusan.

"Kamu kok bisa ada di sini?" tanyaku sembari menoleh kepada Mas Ditya.

Usai aku mendapatkan pengobatan, pria itu masih erat menggenggam tanganku menuju halaman depan rumah sakit. Sesekali saja Mas Ditya menoleh, namun belum juga mengeluarkan suaranya untuk menjawab pertanyaanku.

"Dikasih tau sama Yuli." begitu ujarnya.

Astaga, anak itu ternyata narasumbernya. Seharusnya pria ini tidak perlu balik ke sini. Dia bilang kan sedang ada pekerjaan di luar kota, bisa-bisanya menampakkan dirinya di depanku.

Mas Ditya membukakan pintu mobil untukku. Tangan pria itu melindungi bagian atas pintu mobil dengan jemarinya, agar kepalaku terlindungi dari benturan.

Jujur saja, aku sedikit gugup dan belum terbiasa mendapatkan perlakuan hangat dari seorang pria. Mengingat pernyataan suka yang Mas Ditya ucapkan beberapa waktu yang lalu, benar-benar membuatku diserang kecanggungan.

Mas Ditya melemparkan pandangan intens padaku, setelah ia masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat gurat kekhawatiran dari balik retinanya. Nampak jelas, tanpa perlu diungkapkan dengan perkataan.

"Kamu kenapa nggak bilang kalau ada masalah kantor? Kenapa nggak langsung nelfon saya, hm?" begitu lembutnya kalimat yang baru saja kudengar ini.

Aku menundukkan pandanganku, menghalau diriku untuk bersitatap dengan Mas Ditya. "Mas Ditya kan lagi ada pekerjaan di luar kota."

"Maka dari itu, karena saya jauh, saya butuh kabar dari kamu. Apalagi sampai ada kejadian kayak tadi, pengen marah saya sebenernya, Rin." ucap Mas Ditya sambil menatap arah luar dari balik kaca mobil.

Aku bisa merasakan kekesalan yang mulai nampak. Kalau saja aku bisa mengulang semuanya, aku tidak ingin Mas Ditya datang. Melihatku sangat kacau, sampai harus melibatkannya lagi dalam masalahku.

Sekarang, aku tak bisa berbuat apapun karena Mas Ditya sudah di sini. Seraya melirik dari ekor mata, aku pun berujar, "Udah, lagian saya nggak papa kok. Mas Ditya lihat deh, ini cuma kegores aja."

Mas Ditya kembali memandangku, kemudian menanyakan kondisiku, "Masih sakit nggak?"

Aku menggelengkan kepala singkat, "Nggak kok. Makasih ya, Mas. Dan, uhm, sorry juga udah bikin baju kamu basah."

"It's okay ... Oh iya, Rin, saya ada permintaan ke kamu."

Alisku terangkat sedikit penasaran, "Apa?"

"Bisa nggak kita mulai sekarang jangan pake saya-kamu lagi? Biasain aku-kamu, kayaknya lebih enak didenger deh."

Eh?

Kok sekarang jadi aku yang kelabakan begini?

-oOo-

Sebelum jam makan siang, Bu Dita memanggilku untuk masuk ke dalam ruangannya. Aku melirik Yuli sekilas, karena pasti ini menyangkut masalah yang terjadi beberapa waktu lalu.

My Support SystemWhere stories live. Discover now