Bulan bercerita [Kali Pertama]

22 2 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Kali Pertama
Oleh opicepaka





“Kak.” Ahmad mengetuk pintu kamar mandi yang sudah tertutup saat dia pulang dari masjid untuk salat Subuh. Cahaya matahari sudah muncul di ufuk, tapi anak perempuannya belum juga keluar.

Tadi masih ada suara siraman air yang menandakan jika ada aktivitas di dalam kamar mandi. Namun, sudah sepuluh menit ini tidak terdengar suara apa pun. Ahmad mulai resah.

“Ya!” Gadis itu setengah berteriak, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.

“Kakak nggak apa-apa? Sakit perut?”

“Nggak!” Lagi-lagi setengah berteriak.

“Lalu kenapa nggak keluar? Kakak sudah salat Subuh.”

“Belum. Eh…, Kakak nggak salat.”

Ahmad yang awalnya ingin mengetuk, menghentikan gerakannya. Tangan berhenti di udara. Butuh beberapa detik sampai dia mampu mencerna ucapan remaja tiga belas tahun yang sudah 45 menit mengurung diri di kamar mandi.

“Kakak ….” Ahmad memutar otaknya, mencari kata yang tepat untuk hal yang sedang terjadi sekarang. Seorang anak perempuan, tidak salat, itu artinya. Kata itu tak mau juga terbentuk dengan sempurna. Tiba-tiba dia merasa jadi pria paling bodoh. Apa kata yang dia cari?
Pintu dibuka sedikit. Ririn hanya menunjukkan kepala, menyembunyikan badan di balik daun pintu.

“Kayaknya, Kakak haid,” guman gadis itu malu-malu.

“Ah! Iya! Haid!” Ahmad menemukan moment eureka-nya. Tapi kemudian diam, hanya menatap kelapa anaknya. Setelah ini apa?

Keduanya diam, suara tetesan air terdengar jelas. Omelan ibu tetangga yang sedang membangunkan anaknya mulai terdengar.

Ahmad ingin ke rumah sebelah, meminta Ibu itu kemari. Berbicara pada Kakak yang baru saja mengalami haid pertama. Itu akan lebih mudah. Karena saat ini lelaki yang merasa serba bisa itu tak tahu apa-apa.

“Kakak nggak punya pembalut. Ayah bisa belikan?”

“Eh?”

***

Ahmad menelan ludah. Di depannya berderet plastik berbentuk kotak. Tangan Ahmad terjulur, hendak mengambil. Tapi begitu merasakan teksturnya yang empuk tangannya turun lagi.

Tadi, dia langsung berlari keluar setelah menyambar dompet di atas kulkas. Ternyata, warung ujung gang yang menyediakan kebutuhan sehari-hari belum buka, baru akan buka nanti, jam setengah tujuh pagi.
Lalu dia kembali berlari, mengambil motor dan mencari minimarket yang sudah buka jam setengah enam. Sayangnya, tidak ada. Dia harus melaju hingga pusat kota, mencari mini market yang buka 24 jam.
Sayangnya, perjuangan mencari toko yang buka tidak serumit memilih pembalut yang tepat.

Ahmad membaca keterangan dari tiap kemasan, tapi sama sekali tidak memahami perbedaannya. Keterangan panjang berapa sentimeter tidak bisa dia pahami. Bahkan ‘sayap’ pun tak bisa dia bayangkan. Hanya “siang” dan “malam” yang dia bisa tebak, yaitu waktu pemakaian.

Ahmad mengambil napas, mengangkat keranjang merah. Dia memasukkan masing-masing satu. Tidak yakin. Berapa lama haid seorang wanita? Berapa yang dibutuhkan? Jika dia mengambil sepuluh jenis yang tersedia di mini market ini, apakah cukup untuk anaknya?

Petugas kasir membelalakan mata melihat belanjaan Ahmad, sampai lupa menyebutkan promo-promo yang menjadi SOP mereka menyapa pelanggan. Petugas itu laki-laki muda, Ahmad tidak mungkin bertanya soal haid padanya.

“Kirantinya nggak sekalian, Pak? Ada promo, belanja lima puluh ribu, Bapak bisa beli dengan harga lima ribu.” Akhirnya petugas kasir menjalankan fungsinya.

Ahmad hendak menolak, hanya melirik sekilas botol kuning itu.
“Teman perempuan saya biasanya minum itu kalau sedang halangan.”
Ahmad mulai tertarik, tapi masih tidak yakin.

“Memang fungsinya apa?”

“Kalau dari iklannya, bisa mengurangi nyeri katanya.” Petugas kasir tersenyum kikuk.

Ahmad menghela napas, tangannya ragu bergerak.


***


“Ayah beli banyak banget!” teriak Ririn begitu Ayahnya berhasil menyerahkan belajaan dari celah pintu. Dari dalam tas belanjaan Ahmad bergelentang botol-botol kaca. Akhirnya, dia membeli sepuluh botol. Apakah cukup untuk mengurangi nyeri haid anaknya? Jika kurang, dia bisa membeli lagi.

“Daripada kurang?” Ahmad masih berdiri di depan pintu.

“Tapi ini kebanyakan!” Anaknya sudah kembali cerewet, sepertinya syok karena mendapat haid pertama sudah mulai hilang.

“Disimpan untuk haid berikutnya ‘kan bisa?”

Pintu kembali dibuka, kepala Ririn kembali muncul. Pipinya mengembung.

“Bisa ambilin celana dalam Kakak?” Anaknya kembali berguman, masih malu.

“Buat apa?” Ahmad benar-benar tidak tahu apa-apa.

“Ya buat dipakai, Ayah.” Ririn mulai sebal.

“‘Kan sudah ada pembalut, memang masih harus pakai celana dalam?”

“Ayah!”

Ahmad terkinjat, tidak menyangka anaknya akan benar-benar kesal.

“Ambilin saja, sekalian HP kakak.” Ririn mulai merengek.

“Buat apa?”

“Cari tutorial cara pasang pembalut!” Pintu kamar mandi dibanting.

Ahmad akhirnya ke kamar anaknya, mencari celana dalam di lemari. Rasanya benar-benar aneh sekarang.

Ahmad kembali menunggu di depan kamar mandi setelah menyerahkan barang-barang ke Ririn. Tujuh menit, akhirnya pintu terbuka. Belum sempat Ahmad bicara, Ririn langsung berlari ke kamar dengan kantong belanjaan di tangan. Ahmad menyusul, tapi pintu langsung ditutup.

“Kakak nggak apa-apa?”

“Iya!” teriakan panjang memenuhi rumah.

“Beneran?” Ahmad masih tidak yakin, dia ingin bisa bicara dengan anaknya. Namun, apa yang dibicarakan pun dia tidak tahu. Dadanya berat.

“Kalau boleh, Kakak izin nggak masuk sekolah hari ini.”

“Iya, nanti Ayah bilang ke Ustazah.”

“Tapi jangan bilang kalau Kakak haid. loh ya!”

Ahmad tertawa ringan. “Iya.”

Lelaki itu melangkah ke kamarnya sendiri. Menutup pintu, tubuhnya luruh di lantai. Merasa tiba-tiba lelah, merasa pundaknya makin berat. Tanggung jawab baru sebagai orang tua ketika anak masuk ke fase baru hidupnya.

Tangannya meraih bingkai foto yang telah usang. Pernikahannya empat belas tahun lalu.

“Dik.” Ahmad selalu memanggil istrinya dengan “Adik”, tidak pernah memanggil istrinya dengan sebutan Ibu atau Bunda atau Ummi atau panggilan ibu lainnya. Tidak pernah sempat.

Tenggorokannya berat.

“Dulu, kalau kamu haid, ‘gimana ya?”

Matanya mulai panas.

Mereka menikah tepat setelah lulus kuliah. Menyembunyikan rasa dalam diam dan doa. Hingga pernikahan membawa mereka dalam pernyataan cinta pertama.

Ahmad tidak pernah berhadapan dengan masa haid istrinya yang langsung hamil di bulan kedua. Sembilan bulan kehamilan mereka hadapi bersama.

“Selama ini, kupikir aku bisa jadi Ayah sekaligus Bunda untuk Kakak.”
Ahmad mengatur napas.

“Apa aku egois, Dik? Kalau berpikir Kakak nggak butuh Bunda selain kamu? Hanya karena aku pikir, aku nggak butuh istri selain kamu.”

Kitab Karya Islami Where stories live. Discover now