EMPAT PULUH

13.9K 1.2K 228
                                    

"Aku akan berjuang,
sampai kelak hatiku
benar-benar patah
dan menyerah."

***

Bandara Soetta.

"Alhamdulillah."

Indri menurunkan koper dari dalam taksi. Hampir saja ia terkena macet kalau tidak memutuskan untuk berangkat awal. Hari ini dia pulang setelah mengajukan resign.

Dengan berat hati dia meninggalkan mimpinya setelah dua tahun bekerja di Ibukota. Ibu memintanya pulang untuk bergantian menjaga Ayah sampai benar-benar pulih. Indri hampir tidak pernah pulang, kalau tidak mengambil cuti tahunan.

Tidak banyak yang Indri bawa dalam koper. Seolah dia tidak akan tinggal lama di Semarang. Surat permohonan resignnya masih dikaji bagian HRD.

Gadis itu mengajukan cuti satu pekan untuk merawat ayah. Allah memberinya kesempatan untuk berbakti pada orangtua. Kalau kemarin-kemarin dia banyak mengurus orang lain sebagai pasiennya. Kini dia ganti mengurus ayahnya sendiri.

Indri masih antri untuk check-in di bandara. Dia salah memesan tempat duduk saat memesan tiket melalui aplikasi. Dia tidak suka duduk di jendela dan lebih suka di lorong.

"Silahkan Mbak."Indri maju setelah gilirannya tiba.

"Bangku di lorong ya, mbak. Kalau ada, yang 10 baris depan." Dia sudah mengeluarkan dompet dari sling bag berwarna merah muda.

"Sebentar, Mbak. Saya cek dulu. Boleh minta KTPnya." Petugas yang berdiri di depan, tersenyum ramah.

Indri memberikan KTP dan sabar menunggu.

"Mohon maaf Mbak. Baris depan dan lorong sudah penuh. Tinggal jendela. Untuk lorong tersedia di atas nomor 28. Bagaimana, apakah berminat?"

Duh, kalau bangku belakang Indri sebenarnya tidak nyaman.

"Beneran udah nggak ada ya, Mbak?" Dia meyakinkan lagi tidak salah mendengar.

"Iya Mbak, penerbangan pagi ini cukup padat."

Kenapa tiba-tiba dia ingin menangis. Gimana nih, dia tidak mau duduk di jendela ataupun di belakang. Seseorang berdehem di belakangnya.

"Tukar sama saya aja Mbak. Saya 7A, nanti mbaknya 7C. Masih kosong kan yang 7A?"

Suara itu? Indri spontan menoleh ke belakang.

"Hai In." Wajah tengil milik Ibe menyapa Indri.

"Oh baik Pak, saya cek dulu sebentar."
Petugas di bagian reservasi melayani mereka dengan tetap tersenyum.

Indri mengernyitkan dahi. "Dokter ada acara juga di Semarang?"

Ibe terlihat puas melihat wajah Indri yang penuh tanda tanya.

"Masih ada nih Pak. Jadi mbaknya saya switch ke 7C ya."

"Ya Mbak. Saya yang di jendela aja nggak papa. Yang penting duduknya nggak jauh dari calon istri saya."

Indri melotot ke arah Ibe. Petugas yang bernama Vita itu tidak kuasa menahan tawa.

"Calon istrinya mau kabur ya, Pak?"

Mbak Vita mencandai sepasang Adam dan Hawa yang berdiri di depannya.

"Saya yang bayar bangkunya aja, In. Kamu duduk manis aja disana."

"Tapi Dok." Indri masih menolak.

"Udah nggak ada tapi-tapian. Udah duduk disana. Hush... Hush." Ibe seperti sedang mengusir anak kucing. Bahkan ia tidak mengizinkan Indri mendorong kopernya.

LOVE MANNER Where stories live. Discover now