10. Permainan Takdir

1K 127 4
                                    

Seorang pemuda berkelahi antar sesama sampai babak belur banyak dari mereka hampir kehilangan nyawa. Tawuran kali sungguh berbahaya, mereka menggunakan senjata tajam. Seperti celurit, cambuk kuda lumping, dan rantai besi.

Semuanya tak gentar sedikit pun. Siang hari begitu terik, matahari menyorot tajam siap membakar siapa saja yang menghalangi jalannya. Suara sirine polisi terdengar. Semuanya pergi dengan panik sampai melupakan benda tajam yang mereka banggakan.

Pemuda itu melarikan diri dengan cepat, dia berpisah dengan rombongan. Mengendarai motornya ke gang-gang kecil. Tak sengaja tergelincir, motornya terpelet dan dia masuk ke dalam got. Sungguh sial. Beruntung lubang itu tak ada air comberan, motornya terlempar jauh dengannya. Dia menjerit kesakitan tangannya terluka.

Akibat terseret aspal. Kulitnya robek sedikit. Dia meringis. Motornya terlupakan, dia berdiri dengan memegang tangannya yang terluka. Duduk di tepi jalan. Perutnya berbunyi. Sedari tadi dia belum makan apa pun. Hanya bisa meratapi nasibnya sendiri.

Matanya berkeliaran, tidak seorang pun yang melewati jalan ini. Dia berdiri, berjalan ke luar gang. Benar-benar sepi seperti tidak ada kehidupan. Lukanya dibiarkan, sampai depan ia melihat warung kecil.

Dia mampir ke sana, membeli roti, serta mengobati lengannya yang terluka. Duduk di bangku sambil makan roti, ekor matanya menangkap bocah yang sepertinya kelaparan. Dia memberikan rotinya kepadanya dan langsung diambil serta dibawa lari. Pemuda itu menatap kasihan, ia mengecek dompet, uangnya sekarang menipis.

Balapan terakhir uangnya terpakai untuk kebutuhan sehari-hari serta gaya hidup yang boros. Ponselnya berdering, dan mendapat pesan balapan liar. Dia tersenyum miris, lengannya sakit dan motornya rusak.

Lengkap sudah penderitaannya akibat ulahnya sendiri. Tangan kirinya mengotak-atik pesan, tidak ada tempat yang bisa disinggahi. Di saat dirinya tidak punya uang, teman-temannya pada pergi.

Dia pun sudah terbiasa diabaikan dan terlupakan. Mulutnya berkicau, motor hitam berhenti di samping. Pemuda itu meliriknya, pemuda ber-hoodie hitam membeli semua makanan. Dia mengeryit saat melihatnya membagikan makanan kepada mereka yang tak punya apa pun.

Anak-anak kecil bahagia serta orang tua yang tidak lagi muda, pemuda ber-hoodie hitam berjalan ke arahnya. Memberikan makanan itu juga kepadanya. Dia terdiam.

Pemuda ber-hoodie hitam berdehem. "Ambil. Tidak perlu bayar karena gue tau lo kismin." Pemuda itu mendengus sebal.

"Gue bukan gembel dan gak butuh," tolaknya. Pemuda ber-hoodie hitam duduk di sampingnya. Dia membuka bungkusan itu dan makan.

Pemuda satunya melongo. Sebelum habis ia merampas makanan itu. "Ini kan punya gue. Heh! Malah dimakan."

"Lo 'kan tadi nolak. Ya, gue makan lah daripada mubazir," balasnya acuh tak acuh.

Pemuda itu mengabaikannya. Dia makan dengan pelan karena tangan kanannya sakit. Pemuda ber-hoodie hitam memerhatikannya dan bertanya terus terang.

"Tangan lo kenapa?"

"Kecelakaan," jawabnya singkat.

Pemuda ber-hoodie hitam ber'oh lalu menambahkan. "Jalanan ini emang licin. Seharusnya lo hati-hati dalam berkendara apalagi tempat ini sepi dan rawan kecelakaan."

Pemuda itu menatapnya minat. "Lo orang sini ya? Kok tau?"

"Gue sama kayak lo hanya pengendara numpang lewat. Sesekali singgah menepi ke tempat sepi," jelasnya.

Pemuda berkaus putih berdeham lalu mengulurkan tangannya. "Gue Badai, lo siapa?" tanyanya penasaran.

Pemuda ber-hoodie hitam menoleh. "Gue? Cogans."

Artamevia [END]Where stories live. Discover now