satu.

611 64 26
                                    

Setiap Kamis sore, tepat pukul setengah empat menuju senja, Beomgyu akan kembali pada sepetak taman kecil di kota Busan. Kembali pada pangkuan bangku taman cokelat yang sedikit berkarat, terpatri di sebelah lampu taman tinggi.

Beomgyu mampir ke sana setiap sepulang sekolah, masih dengan seragam sekolah dan beberapa bekas membiru di tubuhnya. Menyeret tubuhnya dengan tenaga yang sedikit lebih ekstra sembari memboyong tas sekolah.  Ia terbiasa menunggu beberapa belas menit. Selama sela menit-menit itu, Beomgyu mengisinya dengan mendengarkan lagu, membaca buku, atau mengunyah manisan cokelat kesukaannya. Suasana taman itu biasa begitu sepi. Tidak begitu banyak orang berlalu-lalang di sana tatkala menuju terbenam. Beomgyu menyukainya.

Sebab tidak ada yang melarangnya atau bahkan memerhatikannya. Menghardiknya tatkala mata Beomgyu menatap sedikit mendelik atau cara makannya yang berantakan, atau cara Beomgyu duduk yang meringkuk.

Telapak tangan kasar dan hangat menyergap, mengacak rambut Beomgyu penuh afeksi. Tubuh besar segera mendekat dan mendekap Beomgyu penuh sayang. Beomgyu tersentak sekejap, namun di detik berikutnya ia tergelak.

"Seungcheol-hyung! Jangan kejutkan aku!" Beomgyu protes dengan nada bermain-main. Menatap sosok Seungcheol dengan surai hitamnya yang berantakan dan kusut setelan kerjanya.

Seungcheol tersenyum, menunjukkan simpul geliginya yang rapi. Tangan besarnya terangkat, menyodorkan bungkus kue pai yang menjadi incaran Beomgyu sejak seminggu lalu.

"Lihat kejutan apa lagi yang kubawakan untukmu?"

Beomgyu tersenyum. Begitu lepas membuat pipinya mengembang dan matanya menyipit. Sebab Beomgyu merasa aman, ia tidak akan dihardik hanya karena alasan senyumnya konyol dan buruk.

"Hyung mau menyuapku ya?"
Ucapan dan tindakan Beomgyu berbanding terbalik sebab ia dengan cepat meraih bungkus kue tersebut dari tangan Seungcheol.

"Kurang lebih begitu." Seungcheol mengangguk. "Aku akan bertanya langsung padamu. Kau jangan terlalu terkejut."

"Apa?" Beomgyu menoleh, bertemu pandang dengan mata Seungcheol yang besar dan redup. Seperti mata boneka yang berkilau namun tak memiliki emosi. Mata Seungcheol tak pernah punya kesempatan untuk berbinar, mungkin karena masa kecilnya sudah lebih dulu terenggut.

Beomgyu sempat jatuh pada saat dimana ia merasa hancur dan terluka mendapati mata Seungcheol terlihat begitu letih, begitu putus asa dan kosong. Seolah kakaknya itu menjalani hari-harinya hanya karena ia belum sampai pada waktunya mati.

Namun sekarang, Beomgyu menerimanya. Ia samanya dengan Seungcheol. Tidak perlu protes karena binar mata mereka telah terenggut sejak lama. Lebih lama sebelum masa kecil mereka bermula.

Tangan Beomgyu bergerak membuka bungkus kue di pangkuannya. Itu hanya suatu bentuk pengalihan agar ia tak terlalu gugup. Tak pernah Seungcheol meminta izin sebelum bertanya. Percakapan-percakapan berat mengalir semudah itu setiap mereka berjumpa. Sebab isi percakapan mereka adalah pengalaman yang mereka bagi untuk bertahun-tahun lamanya.

Beomgyu berhenti bergerak ketika telapak tangan Seungcheol menyentuh seutuh punggung tangannya. Kasar dan dingin. Itu rasa dari tangan baja Seungcheol.

"Apa kau pernah berpikir untuk meninggalkan kota ini?"

Itu awal dari percakapan mereka. Percakapan berat dan emosional entah untuk berapa ribu kalinya. Selalu terjadi setiap sore hari Kamis untuk empat tahun terakhir ini.

Awal percakapan yang membuat perasaan Beomgyu bergelombang dan berakhir menitikkan air mata diam-diam di tempat tidur reyotnya. Berusaha bertahan dari sosok dalam pengaruh alkohol yang mengacaukan ruang tamu tempat berteduhnya.

shelter // taegyuWhere stories live. Discover now