Ketika Pesta Usai

374 57 25
                                    

Alih-alih merengkuhnya dalam dansa saat resital, justru aku menggendongnya turun dari tali gantungan di langit-langit. Hingga hari ini, lekukan lenganku masih belum lupa kasar helai rambutnya yang kusut. Ujung jemariku masih mencari hentakan nadinya di balik kulit. Tentu tidak ada, dia sudah meninggal jauh sebelum aku menemukannya melayang beberapa jengkal dari lantai tempat tinggalnya.

Menurut artikel yang kubaca, ada lima tahap berduka, yaitu: penolakan, amarah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan. Aku tidak tahu aku berada dalam tahap apa, namun sepertinya orang-orang di sekitarku menerima kematian Mala semudah menerima air mineral ketika cuaca panas.

Tim Pelatih resital dengan mudah mengubah susunan penampilan. Aku dan Mala seharusnya menari bersama diiringi orkestra. Sepeninggal Mala, aku melanjutkan penampilan sendirian. Aku bahkan tidak bisa merasakan kulit sendiri, mereka justru ingin aku tetap tampil.

Kini aku latihan sendirian di muka orang-orang yang tidak merasa aku perlu jeda. Bagi mereka pertunjukan harus tetap berlangsung. Seharusnya, aku didampingi Mala. Usai latihan, tubuhku jatuh terjengkang.

"Kamu sakit?" Pelatih menegur.

Aku menggeleng, kedua lenganku bergerak menopang badan hingga berdiri lagi.

Pelatih menginstruksikan istirahat sepuluh menit. Segenap orkestra di belakangku membubarkan diri. Aku melipir dari panggung menuju tribun teratas untuk beristirahat, tempatnya lebih sepi karena orang-orang enggan naik.

"Dia tidak meninggal karena kamu." Rin menyusul naik. Dia mengambil posisi duduk di sebelahku. "Serius. Kamu harus berhenti menyalahkan diri sendiri."

"Bisakah kita mengganti segela gestur menatap langit? Aku tidak suka melihat langit-langit. Aku menunjuk langit-langit di puncak kepala, mengabaikan topik di awal.

"Tidak mungkin ada gerakan yang tidak mendongak, Biang."

"Kita ubah semua gestur mendongak jadi menunduk."

"Penonton tidak akan bisa melihat wajahmu. Mereka perlu wajahmu."

"Kalian perlu wajahku," tukasku cepat.

Rin bangkit, pandangannya mencerca. "Aku berusaha menemanimu, tapi kamu yang mendorong orang-orang menjauh. Tidak semua orang sanggup meladenimu di sini. Kamu tidak bisa menggunakan kepergian Mala sebagai alasan tampil jelek."

Sebelum Rin pergi, aku berujar. "Penampilan itu seharusnya ditampilkan oleh dua orang. Sekarang tinggal aku. Kalian pikir masih ada kesempatan untuk tampil baik?"

"Penampilan harus berlanjut. Laki-laki tidak boleh meninggalkan tanggung jawab, bukan kamu yang mati. Realistis sedikit."

Percobaan pertamaku, dua minggu setelah pemakaman Mala. Orangtuaku mengetahuinya dengan mudah. Belum sampai kulitku terbelah, mereka mendobrak pintu lalu memboyongku ke rumah sakit terdekat. Setelah itu psikolog terdekat. Aku tidak ingat apa yang kami lakukan, terlalu banyak yang lewat di kepalaku. Kemudian keluar istilah yang kueja berkali-kali, Stress Pasca Trauma.

"Kondisi stres, trauma akibat menghadapi perwistiwa traumatis." Apa yang disampaikan Mbak Ama, si Psikolog, membuat wajah Ibu memucat dan Ayah mendelik.

"Apa kamu mempertimbangkan keluar dari resital?" Mbak Ama bertanya dalam salah satu sesi terapi.

Aku menggeleng. "Aku tidak bisa keluar. Aku harus menyelesaikan tugasku, melanjutkan penampilan."

When The Party Is OverWhere stories live. Discover now