|09• Pendidikan Bukan Tolak Ukur

69 9 2
                                    

Gemrisik dedaunan yang tertiup angin berbaur dengan kicauan burung di sore hari. Belum lagi teriakan dan tawa riang bocah-bocah cilik yang kini berlarian dari satu tempat ke tempat lainnya.

Angin kencang yang berhembus melalui jendela yang terbuka mengantarkan kenyamanan pada insan yang kini sudah memejamkan mata tenang. Dia—gadis yang menepati kursi kecil itu sedari dua jam yang lalu mulai mengulas senyum. Jemari mungilnya mengusap pergelangan kiri yang sampai saat ini masih terpasang perban tipis.

Menarik napas sebentar, dia kembali mendatarkan wajahnya. Rasa sakit pada pergelangan tangannya masih sama, hanya sedikit gatal. Mungkin itulah reaksi obat luarnya.

Di dalam kamar yang tidak bisa dikatakan luas itu, Sabel mulai membuka laptopnya. Layar yang menampilkan foto empat orang dengan senyum yang merekah seketika membuat darahnya berdesir. Sabel merindukannya, dia rindu saat-saat keluarga kecilnya hidup dengan penuh ketenangan. Hingga ketika masa itu tiba, waktu singkat yang sukses mempersingkat kebahagiaannya bersama orang-orang tersayang.

Menarik napas dalam, Sabel mengusap layar komputernya. Manik hitam itu semakin bening saat buliran air mulai memenuhi pelupuk matanya.

“Mama, Sabel nggak gila, ‘kan, Ma? Sabel baik-baik aja, Sabel cuma takut,” lirihnya menunduk.

“Sabel takut orang itu kembali lagi, Sabel nggak mau orang itu nyentuh tubuh Sabel lagi. Sabel malu, Ma. Mama, ayo bilang sama papa kalo Sabel ini baik-baik aja. Ayo, Ma!” Gadis itu mulai terisak sembari menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan.

Tangisnya semakin menjadi manakala tawa riang di luar sana terdengar semakin kencang. Sabel ingin seperti mereka semua, Sabel ingin tertawa lepas, Sabel ingin merasakan kesenangan, dan Sabel juga ingin memiliki banyak teman yang tidak pernah dimilikinya selama ini. Hanya itu.

* * *

Seorang cowok dengan kaos hitam yang menjadi ciri khasnya kini sedang menggerutu samar dengan sebelah tangan yang masih memegang gawai tipisnya. Sesekali dia mendecak malas sembari melirik ke arah wanita yang terkekeh di sofa depan sana. Cowok itu merotasikan bola matanya, lantas ia mematikan sambungan telepon dengan kesal.

Kemudian, dia berjalan menuju wanita yang sekarang ini sudah menantinya dengan secangkir teh di tangannya. Dengan kasar, dia menghempaskan bokongnya, lalu mulai duduk bersandar pada pundak sofa.

“Jangan sering marah-marah, nanti tumbuh uban banyak,” ucapnya setengah meledek. Cowok itu hanya merespon dengan berdehem singkat.

“Sayang, mama mau kamu cepat-cepat menikah. Mama nggak mau kamu lama-lama nganggur, nanti kalo kelamaan yang ada malah jadi perjaka tua!” kata wanita sedikit ketus.

Cowok itu menghembuskan napas kasar. “Ma, Libra belum pengen nikah. Lagipula, umur Libra baru 23 tahun. Libra belum siap jadi bapak-bapak,” jawabnya meraih secangkir teh yang sebelumnya sempat mamanya seruput.

“Kamu, ya. Mau sampai kapan mengulur waktu? Lebih cepat itu lebih baik. Pun suatu saat ketika kamu sudah tua, anakmu sudah dewasa dan pastinya bisa mengurus kamu. Kalau nikahnya diundur terus, bisa-bisa sewaktu anakmu lahir kamu sudah tidak sanggup sekedar menggendongnya.”

“Ya ampun, Mama. Libra nggak akan nikah setua itu juga, nanti, ya. Libra janji,” ucap Libra mengusap bahu sang mama.

“Benar, ya? Awas saja kalau kamu bohongin mama, kualat nanti!” todong Lidya. “lagian mama gak suka kalo kamu terus-terusan ngurusin orang gila, bukannya apa-apa, mama cuma enggak mau anak mama yang ganteng ini jadi ikutan stres nanti,” imbuhnya possesif.

Libra tertawa pelan. “Iya, Mamaku sayang.”

* * *

Hari berganti dengan begitu cepatnya, petang perlahan pudar menginggalkan sang bulan yang masih setia memperlihatkan eksistensinya di langit subuh. Kumandang adzan sukses membangunkan manusia-manusia yang sekarang ini tengah bergetar hatinya, meninggalkan makhuk-makhluk kafir yang lebih mengutamakan tidurnya.

Libra terlihat terburu-buru menuju kamar mandi, tak berapa lama dia keluar dengan kemeja pinggala yang dipadu dengan sarung cokelatnya. Setelah mengusak rambutnya sampai setengah kering, dia meraih kopiah yang bertengger di gantungan baju. Lantas, cowok itu berjalan tergesa menuju masjid terdekat menyusul sang mama yang sudah menantinya untuk segera menunaikan kewajiban.

Pak RT yang baru beberapa hari yang lalu pulang dari ibadah haji memberikan sedikit nasihat kepada warga usai menunaikan salat subuh. Ralat, tidak hanya sedikit. Sekarang saja sudah hampir setengah enam pagi, dan warga baru saja membubarkan diri dari masjid. Entah bagaimana pikiran para istri yang menanti sang suami sepulang ke masjid, sebab di tempat Libra tinggal hanya sedikit wanita yang pergi ke masjid manakala adzan subuh berkumandang. Mereka lebih memilih salat di rumah, kemudian mulai menjalankan kewajiban semestinya—di dapur.

Libra berjalan bersama pak RT di sampingnya, beberapa orang memilih cepat-cepat pulang dengan air muka yang bermacam-macam. Cowok itu sibuk mengacak rambutnya yang masih terasa sedikit basah dan ... bau.

“Nak Libra, kapan rencananya mau nikah?” tanya pak RT dengan semburat cerianya.

“Nanti, Pak. Nyari yang pas dulu,” balas Libra malu-malu.

“Yang pas menurut kamu itu bagaimana lagi? Dari segi pendidikan atau akhlaknya?”

“Kalau bisa dua-duanya, kenapa satu, Pak,” jawab Libra seenaknya.

Pak RT tertawa sebentar. “Mau berpendidikan tinggi pun suatu saat juga berakhir di dapur, Nak Libra. Mengejar pendidikan boleh, tapi ada sesuatu yang mengejar kita jauh lebih pesat—umur,” tuturnya.

Libra memangut-mangut. “Bapak benar, meskipun berakhir di dapur, dapur orang yang berpendidikan akan berbeda takaran dengan dapur orang yang hanya putus sekolah dasar.”

“Lalu bagaimana dengan takaran pendidikan yang, Nak Libra, maksud? Apa, Nak Libra juga memiliki takaran tersendiri untuk calon istri kelak?”

Terdiam sebentar, Libra menggeleng pelan. “Pendidikan bukanlah suatu hal yang menjadi tolak ukur suatu kesuksesan, Pak. Nyatanya pendidikan hanya mampu membumbuhkan optimisme dan daya saing di negara global. Saya mencari istri yang berpendidikan, bukan berarti saya hanya memilah seorang wanita dari tamatan sekolahnya, maupun ijazah akhirnya.

Berpendidikan menurut saya itu ketika seseorang mampu dan cakap dalam hal akademis, kepribadian, intraksi sosial, dan yang terpenting adalah akhlak dan tata bahasa. Nyatanya lagi, tidak semua wanita lulusan sarjana memiliki akhlak yang terpuji. Saya tidak mematok kriteria, Pak. Sekalipun nanti jodoh saya bukanlah wanita yang saya impikan, setidaknya saya memiliki cukup pandangan untuk menuntunnya menjadi seorang istri idaman,” jelas Libra tanpa menghilangkan senyum yang sedari tadi terpatri.

Pak RT tertawa. “Saya suka dengan cara pandang kamu. Minggu depan datang ke rumah saya, kita bisa berdiskusi mengenai masalah lingkungan sekitar. Saya rasa kamu pria yang berpikiran rasional.”

Libra hanya mengangguk setuju.

To Be Continue

Ayah, Aku Bukan Sosiopathy! Where stories live. Discover now