33

287 38 11
                                    

“Udah dong, Bang.”

Sandra berusaha menghentikan keributan yang terjadi di hadapannya. Situasi semakin memanas. Kedua cowok itu kini saling beradu tatap tajam. Seram sekali.

Kedua tangan cewek itu terulur, menarik tangan Arka yang sedari tadi mencengkram kerah baju Arsa. Namun sia-sia, cengkraman Arka terlalu kuat. Ia jadi takut, dalam kemarahan ini, Arka akan nekad mencekik cowok itu juga.

“Lo kan yang udah ngirim DM-DM itu ke Chelsea pake akun gue?! Ngaku gak?!” Arka memojokkan. Kekesalannya kini sudah memuncak. Ia marah, tapi lebih dari itu ia kecewa pada Arsa. Arsa saudara kembarnya, orang yang paling dekat dengan Arka sekaligus yang paling ia percaya.

Ia masih tak habis pikir bagaimana bisa Arsa melakukan itu padanya.

Arsa menyunggingkan senyum, membalas tatapan tajam yang Arka layangkan padanya. “Dari awal lo gak peduli. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi peduli?” ucapnya dingin.

Sandra membelalakkan mata saat mendengar kalimat yang barusan keluar dari mulut Arsa. Sepanjang Sandra mengenalnya, belum pernah sekali pun ia melihat Kakaknya bersikap sampai seperti itu. Ia melihat pandangan Arsa berubah ketika mendengar Arka menyebu nama Chelsea.

Arsa mencintai Chelsea, Sandra tahu itu, namun Arsa terus diam dan tak berbuat apa-apa karena masih menjaga perasaan Arka, setidaknya sampai sejauh ini. Entah Arsa masih akan tetap diam atau mau mengakui perasaannya itu, Sandra tidak tahu.

“Anjing!” Arka yang sudah kehilangan kesabaran langsung melayangkan tonjokan pada wajah Arsa, hingga membuat cowok itu tersentak selangkah ke belakang. Meski begitu, Arka tetap memberikan pukulan bertubi padanya sebagai luapan kemarahannya.

Gerakan tangan Arka berhenti. “Sa, lo tau kan situasinya gimana?. Lo ngerti kan kalo gue udah gak bisa lagi sama Chelsea. Gue gak mau kasih harapan palsu ke dia. Gue gak mau bikin dia berharap gue akan balik lagi ke dia, karena itu gak akan terjadi,” ucap Arka berapi-api. “Gue sama dia udah selesai.” Ia menegaskan, yang sebenarnya lebih ia tujukan pada dirinya sendiri.

“Kenapa berhenti?” tanya Arsa. Ia melengkah menghampiri Arka, seakan hendak menantangnya. “Ayo pukul lagi. Pukul sepuas lo.”

“Bang Arsa, udah. Jangan-”

Perkataan Sandra terhenti karena Arsa mengangkan telapak tangan ke arahnya, mengisyaratkan agar dia.

Arsa kembali mengarahkan pandangan pada Arka. “Ayo. Pukul gue lagi.” Tantangnya. “Emang gue yang salah. Gue juga sadar hal itu.”

“Trus kenapa masih lo lakuin?” Arka menuntut jawaban. “Kenapa?”

“Trus lo pikir gue bisa diem aja lihat lo terus-terusan bikin dia sedih dengan kebungkaman lo?” balas Arsa. Ia menggeleng pelan. “Enggak. Gue gak bisa.”

Arka terdiam beberapa saat, mencerna baik-baik maksud kalimat yang baru saja dilontarkan Arsa. Pandangan cowok itu berubah, melunak. Ia maju selangkah menghampiri Arsa. “Mau sampe kapan?” tanyanya dengan nada bicara yang lebih terkendali, “mau sampe kapan lo akan terus-terusan sembunyi seperti pecundang kayak gini?”

“Gue pecundang?” Arsa menunjuk dirinya sendiri. “Emang iya. Kenalin, gue Arsa dan gue seorang pecundang. Orang yang seumur hidupnya terus ada di bawah bayang-bayangnya Arka,” ucapnya dengan mengeratkan rahang.

“Sa, gak kayak gini-”

“Gak apa-apa kok. Gue udah terbiasa,” ucap Arsa, “dari dulu, dan selamanya juga begitu.”

“Segala hal di rumah ini. Segalanya, semuanya selalu tentang lo.” Arsa meneruskan.

“Sa, ada Sandra disini.”

LYSANDRA [Completed]Where stories live. Discover now