📖|14. Hujan dan Kenangan

17 5 0
                                    

———◐☆◑———

“Rasa sakit pada hati memang tidak mudah untuk disembuhkan. Lalu, kenangan pahit pun tidak mudah untuk dilupakan. Ada berberapa kenangan yang tidak akan pernah menghilang dari pikiran, setelah beberapa kali melakukan percobaan. Sebab, sebuah kenangan yang terasa begitu menyakitkan dan menyenangkan akan melekat dalam pikiran.”

———◐☆◑———
.
.
.
.
.
.
.
.
📖

Bel tanda pulang berbunyi. Lalu, tidak berapa lama para murid berhambur meninggalkan kelas setelah mengemasi alat tulis.

“Adira,” panggil Nadira yang kini berdiri tepat di samping laki-laki itu—yang kemudian berdiri.

“Ini tulisanmu, 'kan?” tanya Nadira kembali memperlihatkan tulisan pada kertas.

“Iya, itu tulisan gue,” jawab Adira santai.

“Kenapa bisa ada di laci aku? Kamu punya kunci—”

“Gue enggak punya kunci laci lo! Dan bukan gue yang nyimpen itu!” potong Adira. Setelah itu, dia menggeser meja untuk mendapat jalan. Namun, dengan cepat Nadira kembali menghadang laki-laki itu.

“Ah, dan satu lagi. Gue cuma nulis doang! Jadi, jangan tanya apa pun lagi ke gue!” Laki-laki itu memutar arah memilih pintu belakang untuk keluar.

***

Helaan napas berat terdengar dari Nadira. Perempuan itu nampak kebingungan dengan kejadian siang tadi.

Terlihat dia tengah duduk di kursi meja belajar, sedangkan yang lain nampak sudah tertidur mengingat jam sudah menunjukkan pukul 23.10 WIB.

Kini, dia nampak menulis pada buku diary.

Ada banyak yang selalu menganggu pikiran. Dan salah satunya sekarang adalah sebuah tulisan pada selembar kertas.

“Ingin tahu tentang sesuatu?”

Sesuatu apa?
Aku tidak tahu!

Semua itu benar-benar membingungkan. Terlebih, dengan sikap Adira yang menunjukkan jika dirinya memang benar menulis semua itu. Tetapi, tidak dengan menyimpannya ke laci.

Perempuan itu berhenti menulis, kemudian mencoba berpikir keras ada apa dengan yang terjadi. Bahkan, raut wajahnya benar-benar menunjukkan dirinya seakan frustrasi.

Beberapa saat kemudian, dia mengigit bibir bawah dan menggerakkan kaki kanan terus menerus—seperti bergetar. Sementara tangan kanan yang memegangi pena terus dia ketukkan pada buku dan mata fokus menatap tulisan pada selembar kertas itu.

Sementara itu, suara hujan, petir, dan kilatan sudah berlangsung dari beberapa saat lalu.

“Sesuatu apa?” gumam Nadira.

“Apa harus percaya sama Adira? Tapi, bisa juga dia yang melakukannya, bukan? Selama ini dia menjadi murid kesayangan para guru. Adira juga orang kaya. Bisa aja dia beli kunci yang sama. Atau meminta pada—” Nadira langsung mengacak rambut frustasi.

Memories of Eighteen (Hujan & Tangisan) [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang