1. 200 Hari

4 2 0
                                    

Aku menghembuskan napas lelah sambil memejamkan mata. Netraku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari seseorang yang barangkali bersembunyi didalam kelas yang sepi ini.

Tidak ada siapapun. Aku lantas mengambil setangkai mawar putih yang tergeletak diatas mejaku, lalu aku taruh dalam vas bunga yang ada di meja guru.

"Mawar lagi?" aku menoleh saat Vano datang dari arah pintu.

"Iya," jawabku singkat. Vano memasuki kelas, menaruh ranselnya di kursinya lalu berjalan kearahku.

"Padahal masih pagi lho," Vano terkekeh geli.

"Nggak tahu." Aku mengedikan bahu tak peduli. Hampir satu tahun sejak aku menginjak kelas dua belas, tak pernah absen bunga mawar selalu ada di meja kelasku. Padahal aku sudah bertukar bangku dengan temanku, tapi anehnya bunga mawar itu selalu mengikutiku seolah tahu dimana saja aku pindah tempat duduk. Menyebalkan memang. Aku juga sudah tahu siapa yang diam-diam melakukan itu, sudah pernah kukatakan juga untuk menghentikan kebiasaannya ini. Tapi peringatanku tak berarti apa-apa. Jadi kubiarkan saja dia berbuat sesuka hati, asal tidak menganggu belajarku.

"Yah ditaruh vas lagi," aku menoleh saat dia, orang yang selalu menerorku dengan mawar putih itu masuk kelas dengan ekspresi yang dibuat sedih. Bersamaan juga dengan teman-teman sekelasku yang lain.

Aku melotot saat dia tiba-tiba duduk diatas mejaku dengan tak tahu malu. Setiap hari aku juga mendapatkan sorakan dari teman-teman atas perbuatan laki-laki ini. Tapi aku mencoba tak menggubris. Aku gubrispun dia juga sepertinya tak merasa terganggu, malah semakin gencar menggodaku.

"Ngapain sih kesini?" ucapku kesal pada laki-laki yang bernama Rendy ini.

"Ketemu kamu lah." Lihatlah, bukannya tersinggung Rendy malah menunjukkan senyum manisnya yang malah membuatku semakin kesal.

Aku memejamkan mata untuk meredamkan emosi. Kutatap kembali wajah Rendy yang rasanya ingin kugaruk dengan kukuku. "Bisa pergi sekarang?" aku heran, apa Rendy ini tak dengar kalau bel masuk sudah berbunyi?

Rendy tampak berpikir, "kayanya nggak bisa." Lagi-lagi, aku hanya bisa membuang napas pasrah.

"Tolong Ren, berhenti melakukan hal yang nggak penting ini. Apa kamu nggak capek? Sebenarnya mau kamu itu apa?"

Aku tidak bisa menebak jalan pikirannya, dia rajin memberiku mawar dan juga menggodaku. Kalau niatnya mendekatiku, harusnya Rendy sudah memintaku menjadi pacarnya. Tapi selama hampir satu tahun ini, laki-laki itu tak pernah menyinggung soal itu. Ya ... aku hanya bisa diam, gengsi kalau harus bertanya padanya. Nanti kalau aku bertanya apa dia punya perasaan denganku lalu dia menjawab tidak, mau ditaruh dimana mukaku ini? Entah, perasaanku benar atau tidak yang pasti aku tidak akan pacaran, titik.

"Kalau capek itu relatif. Aku ingin kamu mengetahui sesuatu," jawab Rendy sambil tersenyum menggoda.

Aku menyatukan kedua alis, "sesuatu apa?"

"Ada deh." Setelah mengucapkan itu Rendy segera berlari keluar kelas sambil tertawa keras. Aku semakin dibuat bingung. Belum sempat aku bertanya lagi, guru masuk ke kelasku.

Aku jadi penasaran, sesuatu apa yang ingin Rendy perlihatkan padaku.

Rasa penasaran ini membuatku tak bisa fokus dengan pelajaran yang guru terangkan, dan ini berlanjut sampai bel pulang berbunyi.

Aku menyempatkan mencuci muka dahulu di toilet sambil membenahi jilbabku yang ikut berantakan. Ah Rendy, dia membuat kepalaku pusing.

Begitu keluar toilet aku terkejut saat tiba-tiba sebuah tangan menyambar pergelangaku dan membawaku berlari.

"Rendy?" aku memekik saat mengetahui yang menarikku adalah Rendy.

"Lepas Ren, kamu mau bawa aku kemana?" aku sudah terengah-engah karena berlari, pikiranku juga tak bisa jernih. Membayangkan hal yang tidak-tidak.

"Sudah aku bilang kan? Aku ingin kamu mengetahui sesuatu, dan sekarang aku akan menunjukkannya." Jawab Rendy sambil menoleh kearahku, dia tersenyum manis sambil mengangguk seolah bisa membaca kekhawatiran yang ada di pikiranku.

Jujur aku merasa takut saat Rendy mengatakan itu, apalagi kini suasana sekolah mulai sepi. Tapi rasa takutku terkalahkan dengan rasa penasaran yang terus menuntut.

Rendy baru melepaskan cengkeramannya di tanganku saat tiba ditempat tujuan. Dia membawaku ke rooftop, aku bisa melihat pemandangan langit sore yang sedap dipandang dengan semilir angin yang ikut menerpa jilbabku kesana-kemari.

Rendy berdiri tepat dihadapanku, dia mengeluarkan setangkai mawar dari saku celananya. Namun kali ini bukan mawar putih, melainkan mawar merah. Rendy menyerahkan kepadaku.

"Hari ini tepat dua ratus hari aku memberimu mawar, tolong terima." Titah Rendy. Aku perlahan menerimanya.

"Jadi ini sesuatu yang mau kamu tunjukan padaku?" aku bertanya to the point, jujur aku aku tak bisa berbasa-basi. Aku ingin cepat tahu apa yang ingin Rendy tunjukkan.

Dia menggeleng.

"Lalu apa?" tanyaku lagi.

"Sebenarnya ..." Rendy menggantung perkataannya, dia seperti ragu untuk melanjutkan. Itu membuat penasaranku semakin menjadi.

"Maaf. Sebenarnya, aku melakukan ini bukan untuk diriku sendiri. Tapi ... untuk seseorang." Aku semakin bingung dengan ucapannya. Maksudnya apa?

"Seseorang?" beoku. Rendy mengangguk.

Detik kemudian, laki-laki yang aku kenal keluar dari punggung Rendy sambil membawa sebuah buket mawar merah besar. Rendy bergeser, laki-laki itu berjalan kearahku.

"Vano?" apa maksudnya ini? Jangan bilang ...

Aku melotot kearah Vano yang tengah tersenyum manis kearahku.

"Seseorang itu adalah aku, Semua yang Rendy lakukan juga karena aku. Mawar yang selama ini kamu terima itu dariku. Aku ingin mengungkapkan perasaanku dengan cara yang berbeda. Jadi, bagaimana menurutmu, Ritma?"

Aku menutup mulutku tak percaya, rasanya ini seperti mimpi. Bagaimana mungkin? Aku benar-benar tak menyangka jika Vano melakukan hal sejauh ini. Selama ini aku mengenalnya karena dia teman semasa kecilku, dia sudah kuanggap sebagai sahabat. Dan hari ini, aku benar-benar kaget jika dia mempunyai perasaan lain selain teman padaku. Bahkan sikap yang Vano tunjukkan tidak sama sekali menunjukkan jika dia menyimpan perasaan padaku. Memang benar kata pepatah, jika tidak ada persahabatan diantara laki-laki dan perempuan kecuali tumbuh perasaan lain pada salah satu mereka.

Aku menatap bunga yang Vano pegang lalu naik ke wajahnya. Dia masih bertahan dengan senyumannya seolah menunggu jawabanku. Lalu, apa yang harus aku katakan?

28 Januari 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HalloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang