Dream13: Lingkar Keluarga Bulan Mati

34 11 3
                                    

"Anu, Schatten ... maaf, ya? Tolong tidak usah dipikirkan kata-kata orangtuaku barusan—uh, mereka memang cerewet soal itu dan suka bercanda."

Tepat setelah kalimat itu diutarakan Naomi, langkah Schatten di depannya berhenti. Membuat Naomi yang diseret di belakangnya otomatis juga berhenti, menelan ludah gugup—apakah kata-katanya memperburuk suasana hati anak lelaki itu? Padahal, Naomi hanya semata-mata merasa tidak enak karena sikap berlebihan kedua orangtuanya yang kelewat berlebihan.

"Tidak,"

Naomi mendongak, merasa mendengar sepotong lirih suara Schatten.

"Akulah yang seharusnya minta maaf. Membuatmu terjebak dalam situasi tidak enak seperti tadi. Tapi masalahnya, aku tak punya pilihan lain."

Baru kali ini Naomi mendengar suara Schatten jatuh sekelam itu. Gadis itu pun memberanikan diri berinisiatif, "Apakah ... kau sedang punya masalah?"

Dalam satu sentakan, Schatten berbalik lurus menghadap Naomi. Lantas menundukkan kepala dalam-dalam hingga punggungnya membentuk sudut sembilan puluh derajat dengan kedua tangan rapat di sisi tubuh, berucap rendah penuh kesungguhan.

"Kumohon, jadilah kekasihku!"

***

"...Maafkan aku." Schatten berujar pelan dengan rasa bersalah, sembari menyodorkan segelas perasan limun segar yang dibelinya di sebuah kedai kepada Naomi.

Gadis berambut panjang sehitam langit malam itu lekas menyambut gelas limun yang diberikan Schatten, lantas meneguknya cepat—sensasi kecut-manisnya yang dingin menyegarkan kembali hati Naomi yang sempat membeku sekaku es batu di dalam gelas limunnya karena salah paham.

"Hum, tidak apa-apa, kok!" Naomi berusaha mempertahankan senyum, "Jadi ... maksudmu yang sebenarnya...?"

Schatten menghela napas, berharap gugup yang berdiam di hatinya bisa berkurang dengan itu—yang tinggal harapan saja, karena anak lelaki itu masih bergestur canggung dengan tangan mengusap tengkuk. "Aku ... membutuhkan bantuanmu, untuk berpura-pura menjadi kekasihku,"

"Berpura-pura?" kernyit Naomi bingung.

"Uh, bukan secara publik, hanya dalam satu waktu ini saja." Kembali, anak lelaki itu menghela napas—sepertinya memutuskan akan benar-benar berterus terang. "Untuk kubawa ke hadapan ayahku."

Naomi mempersiapkan atensi penuh tanpa niat menyela.

Maka, Schatten melanjutkan. "Garis besarnya, sama seperti orangtuamu. Dan kujamin semua orangtua di kota terkutuk ini. Bedanya, jika kedua orangtuamu masih dalam tahap semacam menyarankanmu untuk mulai mencari pasangan, ayahku sudah sampai tahap ancaman akan dijodohkan." Gurat frustasi tercetak jelas di wajahnya, yang tidak terhapus dalam sekali usapan tangan.

Ternganga, Naomi merasa bergidik membayangkannya. Dia tahu, karena sekelas dengannya, Schatten pastilah maksimal selisih usia satu-dua tahun lebih tua darinya, bukan? Sekitar umur tujuh belas-delapan belas tahun? Sudah dituntut dijodohkan?

Ternyata Schatten memang benar. Kutukan itu membuat semuanya menjadi sinting.

"Tentu saja mana mau aku dijodohkan? Karena itulah, aku butuh bantuanmu untuk berakting menjadi kekasihku, Naomi." Sampailah Schatten pada inti ucapannya. "Aku tidak punya teman perempuan selain kau. Terlebih lagi, kau sudah cukup mengenalku akhir-akhir ini, 'kan? Tidak akan terlalu aneh bagimu untuk berakting. Tidak perlu kontak fisik romantis atau apalah—akui saja bahwa kau adalah kekasihku. Paling-paling, ayahku hanya akan mengajakmu mengobrol ringan, tidak usah takut."

Anak lelaki itu mendongak dari balik telapak tangannya, menatap Naomi dengan tatapan—yang kalau boleh Naomi artikan benar-benar—memelas. Baru kali ini Naomi melihat riak seperti itu di iris delima Schatten.

The Dreamless LandDonde viven las historias. Descúbrelo ahora