Arunika [Miya Osamu]

407 54 25
                                    

Ini tentang Atsumu, dari sudut pandangku; Miya Osamu.

Menjadi saudara kembar bukan berarti kami harus disamakan. Sering bunda dan ayah membelikan mainan dan pakaian yang sama, hanya berbeda warna.

Kadang mereka juga salah sebut nama kami, maklum masih bayi saat itu. Bunda yang cerita.

Atsumu entah kenapa malah selalu memdeklarasikan kalau dia jadi kakaknya. Kami, kan, kembar. Mana ada kakak-adik. Bunda dan ayah saja juga lupa siapa yang lahir duluan.

Arunika, yang artinya langit pada menjelang matahari terbit, yang kalau kata remaja yang mengaku indie, sih, disebutnya fajar.

Atsumu adalah Arunika. Lihat saja ia terlihat paling cerah. Paling bisa menunjukkan ekspresi. Terang-terangan.

Kecuali kalau meminjam barangku.

"Iya, nanti aku cuci jaketmu."

"Aku traktir onigiri, deh, sebagai gantinya."

"Samu, pinjam laptop. Iya, pakai saja. Terima kasih. Sama-sama."

Kalau kalimat terakhir tadi, sih, 'Tsumu yang mengucapkannya. Padahal aku belum mempersilakan.

Rasanya mau ganti saudara.

Ya, itu kalau memang dia sedang dalam mode menyebalkan. Sebenarnya aku cukup bangga dengannya.

Kami punya hobi yang sama; olahraga voli.

Meski begitu, yang paling bersemangat justru Atsumu.

Ia tak menyerah ingin mendapatkan posisi setter yang tadinya diisi olehku. Kuakui taktiknya sangat keren, ia bahkan bisa jadi setter terhebat. Pada akhirnya, Atsumu yang jadi setternya.

Aku tidak menunjukkan ekspresi apapun, sebenarnya campur aduk. Antara iri dan bangga padanya.

Apalagi waktu diumumkan pelatihan pemuda nasional di Tokyo. Atsumu yang terpilih.

Marah? Tentu. Namun aku marah karena tidak bisa marah padanya. Lagipula sudah kujelaskan, bukan, Atsumu yang paling bersemangat dalam voli.

Atsumu memang begitu, terlihat angkuh. Waktu dulu kuberitahu ada yang membencinya saja, ia malah tak peduli. Aneh.

Namun aku suka sifatnya yang itu, tak mau ambil pusing. Biarkan saja mereka membenci sampai lelah, kita fokuskan saja apa yang harus dijalani.

Yah... meski memang tidak mudah melakukannya.

Seperti yang kubilang, kembar bukan berarti sama. Rencana setelah lulus SMA, Atsumu ingin tetap bermain voli, sedangkan aku tidak.

Kalian tahu, hanya karena itu, Atsumu kesal padaku. Meski belum diungkapkan, tapi radar kami saling memancarkan. Aku tahu apa yang ia rasakan.

Kami bahkan sampai tidak berbicara selama tiga hari. Bunda dan ayah juga sampai bingung, tapi ayah malah membiarkan kami karena beliau tahu kami bisa selesaikan ini sendiri.

Sampai akhirnya Atsumu meluapkan amarahnya. Ia menarik kerah jaketku. Wajah marahnya beluk pernah kulihat selama ini.

Ia kesal kenapa aku tidak lanjut voli.

Ia kesal karena seolah aku menyia-nyiakan kemampuanku.

Ia kesal. Sangat.

"Sudah kubilang, dibandingkan aku, kamu yang paling bersemangat dan berpotensi dalam voli."

"Kamu juga! Jangan sia-siakan kemampuanmu, dong!"

Aku berusaha melepaskan genggamannya daei kerah jaketku. Berhasil, kini aku tak kalah eratnya meremas kerah bajunya.

"Dengar, ya, sudah lama aku memikirkan ini, jadi aku tidak asal saja berhenti bermain voli. Lagian aku tidak harus bermain voli untk dibilang sebagai "orang sukses", kan?"

Atsumu masih menatapku, tingkat kemarahannya sudah terlihat.

"Nanti, kalau kamu sudah tua, kamu boleh mengejekku ketika kamu merasa sudah lebih bahagia daripada aku!" lanjutku makin meninggi.

Atsumu yang tadinya tidak ada pergerakan, ia kembali meremas kerah jaketku.

"Oke! Suatu saat aku akan katakan kalau aku lebih bahagia daripada kamu! Lihat saja nanti!" teriak Atsumu.

Aku membuang mapas sembari melepaskan genggaman baju Atsumu tadi. Kudorong ia untuk menjauh dariku. Lekas aku meninggalkannya, aku ingin menenangkan diri.

Arunika dan Atsumu itu sama-sama memancarkan cahaya. Namun, kalian tahu, ketika cahaya matahari mulai muncul, suasananya jadi sejuk digantikan oleh dinginnya malam.

Atsumu pun begitu, meski terlihat berapi-api ia.

Ingat ketika kami pulang sekolah waktu TK, aku menangis karena terjatuh tersandung kayu pembatas bak pasir di taman. Ia datang menenangkan, mengusap kepalaku dan berkata,

"Camu, jangan nangiy. Aku mau beli obat dulu."

Ia berlari kemudian, lekas kembali malah membawa es krim gelas rasa strawberry.

Lututku luka, kenapa malah beli es krim? Bodoh.

Es krim gelas tersebut ia tempelkan pada lututku, "Bial lutut Camu dingin. Ey klimnya dimakan juga bial Camu ga nangis."

"Kenapa beli ey klim?" tanyaku.

"Kata bunda kalo cakit katanya gala-gala panay. Waktu aku cakit, kan, aku badannya panas. Sama bunda dikacih ail ey. Jadinya beli ey klim aja bial bisa dimakan Camu."

Bodoh. Atsumu bodoh. Namun aku malah percaya. Aku malah menghabiskan es krim strawberry itu. Oke, kami sama-sama polos.

Lihat, dia menyejukkan juga, bukan?

Sebagai saudaranya, aku benci mengakui ini. Aku bangga terhadapnya. Aku malah makin bahagia karena ia juga bahagia dengan jalan pilihannya.

Yah... tapi lihat saja, siapa yang akan mengatakan lebih dulu kalau kami lebih bahagia atas pilihan ini.

Saudara kembarmu,
Miya Osamu.

🦊🦊🦊🦊🦊

Ada kritik dan saran?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada kritik dan saran?

#NULISRANDOMHAIKYUU!!Where stories live. Discover now