Bab 3

3 0 0
                                    


Juniel Zeovan

Perihal keluarga sama seperti perihal cinta, memiliki dua kemungkinan pada akhirnya. Berakhir menjadi tempat tinggal yang paling nyaman atau menjadi tempat penyiksaan bagi diri sendiri. Bagi banyak orang, keluarga adalah tempat mereka mencari kebahagiaan, meluangkan waktu untuk berkumpul di malam hari, bercanda tawa, juga bertukar cerita dan masalah. Tapi bagiku keluarga adalah tempat yang paling menyiksa. Pertengkaran Ayah dan Ibu disetiap malam semasa kecil masih sering kali teringat dikepala, bau alkohol dari kakak tiri setiap jam 4 pagi pun masih kuingat. Mereka pikir aku baik-baik saja karena aku tidak pernah menunjukkan perasaanku secara langsung, melainkan aku memendam dan terkadang melampiaskan semuanya dengan membuat goresan di lengan dengan benda tajam yang ada dikamarku, seperti gunting misalnya.


_______


"Juniel, bisa tolong bersihin meja nomer 3?"

"Bisa, Kak."

Aku mengambil cairan pembersih dan kain lap lalu menyemprotkan beberapa kali keatas meja nomor 3 dan membersihkannya sebersih mungkin. Akhirnya di Surabaya bisa dapat pekerjaan, ya walau bukan pekerjaan tetap, setidaknya bisa untuk menutupi bayar uang kontrakan dan beli makanan sehari-hari. Sesekali aku rindu Jakarta, ya memang tidak ada sesuatu yang spesial, hanya ada Kala, Olyn, Sam, mereka saja sudah cukup sebenarnya.

"Niel, bisa ikut saya sebentar?"

"Bisa, Kak, bisa." Niel mengikuti pemilik cafe tersebut ke ruangannya.

"Ini gaji kamu bulan ini ya, saya tambah setengahnya karna kerja kamu yang bagus dan tanggap. Semoga kerja kamu kedepannya bisa semakin baik ya."

"Siap, Kak. Pasti saya usahakan lebih lagi."

"Dengan satu syarat. Kuliah kamu tidak terganggu. Bisa?"

"Bisa banget kak, Terima kasih banyak udah percayain saya, Kak"

Bosku sangat baik. Beberapa kali aku menunduk sambil menjabat tangannya sebelum keluar dan melanjutkan pekerjaanku. Berjam-jam sudah aku mengerjakan banyak hal di tempat ini, kini giliranku pulang dan menyiapkan data diriku untuk mendaftar kuliah.

"Niel, mau gua anter?"

"Jangan, tempat kita kan beda arah, nanti lu muter-muter lagi."

"Iya sih, cuma gue lagi banyak pikiran dan mau cari angin juga, daripada gua buang bensin ga jelas, mending anter lu."

"Alesan ae. Yauda iya gue nebeng ya."

"Siap. Alamatnya masih sama?"

"Masih , gas jalan."

"Oghey bos."

Ini Dimas, gatau kenapa dia hobi cari alasan buat antar aku pulang. Kebetulan aku kebagian shift malam dan ya bahaya juga kalau pakai angkutan umum, jadi ya malu-malu tapi mau deh. Di jalan Dimas banyak cerita galau, melow banget kayanya, jadi aku coba tanya ke dia, "Habis putus cinta, Dim?"

"Engga, cuma emang jiwa-jiwa sadboy." Jawabannya yang enteng membuat aku refleks memukul punggungnya. "Heh. Sakit! Hahahaha."

"Lagian ngeselin. Hidup tu harus happy, Dim. Cari satu dari seribu alasan yang bikin happy, pasti ada. Siapa tau dengan gitu bisa makin jadi moodbooster orang lain, terus itung-itung nambah amal deh."

"Iya, bunda, siap laksanakan."

"Heh, gue bukan bunda lu ya." Cape kadang kalau Dimas begini, masa dipanggil bunda cuma karena ceramah dikit hmm.


_______

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 30, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mama, I Want to be myselfWhere stories live. Discover now