I'll tell you a

39 6 1
                                    


19 Juni 2054

Aku menggeledah lemari penyimpanan yang sudah sangat tua, sepertinya akan rubuh jika aku bersender di sana. Tatapanku langsung tertuju pada kotak berpita hijau di paling ujung lemari. Tanganku gemetar saat menemukan album foto di dalamnya, “00:00” tertulis di bagian depan album yang sudah tidak utuh lagi. Aku tersenyum melihat itu, kemudian menangis.

“Grandma… sedang apa?” suara bocah sepuluh tahun itu mengagetkanku.

Nothing, hanya merapikan lemari ini.”

What’s that?” tanya nya polos.

“Album kenangan, when I was in high school.

Aku menanggapi pertanyaan bocah itu sembari membersihkan debu – debu yang menempel pada bagian album, setelah itu kubuka.

Can you tell me how the story? Please.” tatap nya dengan penuh harapan.
Aku terkekeh melihatnya, lalu ku mulai ceritaku.
Ok, I’ll tell you a story…”

*

8 Februari 2017

“Mampus, gue lupa ngerjain tugas pak Handery.”

Aku menoleh saat merasakan tangan yang menyentuh pundakku tiba – tiba, itu Thio, dia teman dekatku.

“Aduh, gimana ya? Berhubung gue rajin sih, tugas begituan mah…. Kecillll. Ekhemm kayaknya bakal ada bau – bau ketiak nih nanti siang.”
Itu Ellen, yang sudah jelas sedang berusaha menyindir Thio.

“Oh, doain gue dihukum nih ceritanya?”
“Ihh… udah sih, lagian salah lo juga.” aku mencoba melerai kedua temanku itu.

Tidak ada yang spesial hari ini, selain ulangan Matematika yang segaja di tunda, aku, Ellen dan Thio memutuskan pergi ke kantin karena itu. Kami memesan satu porsi bakso, dan beberapa chiki lain lalu kemudian pergi ke taman belakang, duduk di salah satu kursi yang sudah berkarat, itu tempat favorit ku dengan kedua temanku itu.

Sampai akhirnya, bel yang sedari tadi kutunggu telah berdering. Aku dan teman – teman ku memutuskan untuk mengunjungi paman Choi sepulang sekolah.

Kedai Korean Food Paman Choi, rumah bagi kita bertiga, letaknya tidak jauh dari sekolah, berada di ujung taman yang sangat sepi pengunjung.

Di depan kedai, ada kursi taman dan terdapat pohon lebat yang menjadi atap kursi taman itu,  tempat favorit ku, Thio, Ellen dan juga paman Choi.

Paman Choi, beliaulah yang mempertemukan kita hiingga saat ini. Aku sempat menjadi Pembully saat berada di bangku SD hingga kelas pertama ku di SMP, paman Choi orang yang membantu ku keluar dari masalah itu. Papa ku meninggal tepat di hari ulang tahun ke- 12 ku. Aku benci segala perayaan pesta sekarang. Lalu bunda? Dia sibuk mengurus kantor pusat keluarga ku di Amerika.

Sampai hari itu, aku bertemu Ellen, dia sempat menjadi korban bullying di masa SMP nya, orang tuanya berpisah, Ellen tinggal bersama ayahnya di sini, ibunya kembali ke Australia, tempatnya berasal. Ellen sempat takut berada di dekatku, sampai kami bertemu Thio di tahun pertama SMA.

Keluarga Thio selalu berpindah – pindah setiap beberapa tahun, dan saat ini keluarganya sedang menetap di Indonesia. Paman Choi memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah peninggalan istrinya, ia juga tidak memiliki keturunan. Kami adalah anak bagi paman Choi.

“YUHUUU…. PAMAN, KAMI DATANG.” lagi – lagi teriakan Thio mengagetkan paman Choi yang tengah tertidur di mejanya. Pria berperut buncit itu menghampiri meja kami dengan wajah jengkelnya.

“Paman, kami minta soju tiga botol, Tteobokki empat porsi, bibimbap enam porsi, jajangmyon dua porsi, ramyeon tiga porsi, bulgogi sa—eh tujuh porsi, apa lagi ya? Udah deh itu aja.”
Paman Choi masih berdiri tegap dengan senyum iblisnya sambil memandangi Ellen yang sedang menyelesaikan pesanannya, ah—mungkin lebih tepat jika di sebut meminta ketimbang memesan.
“Ohhh, Tuhan, aku hanya berharap supaya guru mereka tidak gila dalam waktu dekat.” katanya.

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Feb 14, 2021 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

I'll tell you a storyDove le storie prendono vita. Scoprilo ora