Epilog

84 7 5
                                    

Semua orang butuh proses untuk berjaya. Jika berjaya tanpa susah, bukan suatu keberjayaan sejati.

Termasuk cinta. Harus melewati berbagai rintangan, hingga menemukan titik terang, merajut asa bersama, kembali ke poros awal, dan saling menikmati dalam keadaan apa pun.

Bersama untuk selamanya bukan hal mudah, tapi percayalah, jika kita menyukai sesuatu, sesuatu itu justru membuat kita nyaman dan mudah.

Prinsip terindah setiap pasangan; Together Till Jannah, bukan lagi Bersama Sampai Mati. Maka, berjuanglah semasa di dunia agar bersama di surga nanti.

Thank You, Es Jeyuk.

***

Suara letusan balon udara menggema di pesisir pantai. Berbagai balon yang belum terbang pun dibakar bagian mercon dan diterbangkan diiringi suara mercon. Hawa dingin di pesisir pantai membuat kami semua—aku, Nasha, Syubbanul Muslimin, dan teman Nasha—membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Maklum saja. 30 menit yang lalu, baru saja kami pulang dari masjid yang difalisitaskan untuk pengunjung beragama Islam di pantai. Jadi tulang rusukku seperti direndam di air beku.

Aku merangkul Nasha yang menghampiriku. Tadinya ia masih bercengkerama dengan teman-teman lamanya. Aku pun masih bercakap ria dengan grup hadrah.

Aku mengecup keningnya sekilas lalu mendongak. Nasha ikut mendongak.

Di atas sana, banyak sekali balon udara yang terbang menjauh. Semakin tinggi tempatnya, semakin kecil ukurannya. Sampai benar-benar menghilang dan mercon sudah habis meletus.

Balon udara tersebut bermacam-macam karakter. Balon itu bisa dibeli di dekat pantai, karena memang banyak yang berjualan. Tapi mereka membawa sendiri dari rumah. Rupanya, semua acara sederhana tapi bermakna ini dari lama. Makanya kemarin Syubban tidak jadi datang dan Nasha langsung mengajakku ke tempat ini.

Aku dan Nasha sebenarnya sudah sampai pantai sejak tadi malam. Kami bermalam di sebuah hotel untuk beristirahat. Hotelnya berada di ujung pantai. Harganya tidak terlalu mahal, tapi fasilitas cukup lengkap dan memadai. Lagipula, aku dan Nasha tidak berlama-lama di sini. Mungkin nanti siang kami pulang, mengingat Syubban ada acara nanti malam di dekat pantai.

"Sebenarnya apa yang ingin kamu berikan padaku?" tanyaku, menatap Nasha tajam. Nasha mengulum senyum lalu berlari. Aku pun mengerutkan kening heran.

Tidak lama kemudian, Nasha datang dengan sebuah balon biasa di tangannya. Wajahnya tampak riang dan terus tertawa. Ia pun menyerahkan balon itu.

"Aku yang letusin atau kamu sendiri?" tanyanya, mengangkat sebelah alisnya. Aku menerima balon dari tangannya dan memperhatikan isi balonnya. Di dalam seperti ada bola kecil-kecil berwarna-warni. Aku mengerutkan kening dan mengarahkannya ke sinar matahari agar terlihat jelas isinya.

Nasha tiba-tiba menyambar. Aku terkejut sedikit. Ia tertawa.

Ia pun membawa balon itu berlari. Aku pun mengejarnya seraya tertawa. Entah mengapa, kurasa Nasha pagi ini lebih banyak tertawa.

Di bawah pohon yang tidak terlalu rindang, Nasha mengikat ujung balon dengan tali yang terhubung dengan sebuah kail yang panjang. Nasha pun memanjat sebuah tangga kemudian mengangkat kail itu setinggi-tingginya. Sehingga balon pun menyentuh balon-balon lain yang sudah lebih dulu memenuhi langit.

"Mas Azmi, minggir!" teriaknya dari atas.

Aku menggaruk rambut yang tak gatal sembari berjalan mundur. Aku masih bingung dengan tingkah Nasha. Tidak biasanya ia memanjat setinggi itu dan kupikir dia takut ketinggian. Makanya aku tidak pernah mengajaknya ke tempat wisata tinggi, mungkin hanya pantai atau taman.

Thank You, Es Jeyuk ✔️Where stories live. Discover now