Bab 27, Life Began at Forty

677 121 16
                                    

Hanya beberapa detik bagiku untuk meyakinkan bahwa itu dia. Tubuhku yang tetap kaku sebagai perintah penolakan otakku. Tapi hatiku, entah mengapa berkata lain. Dia meminta tubuhku melemah, membiarkan dia melepas rindunya. Dan rinduku?

Dan rinduku.

Aku tahu, dia bisa merasakan tubuhku melemah mengikuti kontur tubuhnya. Aku tahu, dia tahu aku membiarkan dia berlaku seperti itu padaku.

"Seperti mimpi ngelihat kamu di sini." Kepalanya masih terbenam di leherku. "Dan masak." Dia semakin dalam mengendus di sana. Membuat ada kupu-kupu menari di perutku. "Tadi aku beneran cubit tangan biar yakin aku nggak mimpi."

Dia memeluk semakin erat, mendengus semakin keras. Kupu-kupu di perutku menari semakin cepat.

Kubiarkan dia membalik tubuhku. Sekarang kami berhadapan nyaris tanpa jeda. Ketika matanya menatap wajahku, dan tangannya tetap melingkar di pinggangku, sementara tanganku di pinggangnya. Entah menahan jatuhku, atau menahan agar dia tak semakin mendekat. Posisi ini membuat tubuh bagian bawah kami menempel. Dan aku merasakan sesuatu yang mengeras di perutku. Begitu dekat dengan area pubis. Aku memang tidak pernah berhubungan dengan lelaki, tapi aku tahu apa yang mengeras itu dan mengapa bisa mengeras.

Dia masih terus menatapku. Tak terpengaruh dengan perubahan kontur tubuhnya. Tangannya tetap santai di pinggangku dengan punggung agak ke belakang. Entah apa dia bisa fokus melihatku ketika jarak kami sedekat ini. Sementara aku, aku tak tahu, aku tak bisa fokus melihatnya karena ada masalah pada mataku atau pada hatiku. Saat aku harus berjuang mengatur respons tubuh, dia malah menaikkan sebelah tangannya lalu membelai pipiku. Bergerak terus ke rahang. Lalu tangan itu menarik lepas sumpit yang menahan rambutku. Rambutku langsung jatuh tergerai. Dia membelai rambutku. Mendadak rambut yang jika kupotong tidak terasa sakit sekarang memiliki saraf perasa. Setiap helai rambutku seakan bisa merasakan belainya. Kupu-kupu di perutku semakin menggila.

Tangannya berakhir di kepalaku, jemarinya menyelusup di antara rambutku. Sedikit kasar menarik rambut, dia mengarahkan kepalaku. Membuatku mendongak. Dan wajahnya semakin mendekat ke wajahku. Kami semakin tak berjarak. Aku bisa merasakan desah napasnya yang kasar nyaris mendengus. Kepala dan hatiku bertengkar hebat. Hatiku sendiri pun terbelah. Yang satu menginginkan kedekatan ini, sementara belahan yang lain menyuruhku menjauh.

Ketika bibirnya nyaris menyentuh bibirku, aku menoleh membuang muka. Dia langsung terdiam. Lalu perlahan melepaskan genggaman tangannya di rambutku. Tapi secepat kepakan sayap kupu-kupu di perutku, secepat itu pula dia menarik diri menjauh. Aku menunduk menatap ujung kaki. Aku harus mengatur napasku. Sepertinya tadi aku lupa bernapas. Detak jantungku pun kacau. Mendadak melambat yang membuat tubuhku lemah.

Ketika aku mengangkat wajah, kulihat dia duduk di kursi makan. Dengan posisi favoritnya tapi matanya menatapku.

Liar.

Aku tak pernah melihat tatapan seperti itu.

Dia bernapas kasar, mendengus seperti ingin menghirup semua oksigen di ruangan ini.

Bau masakan membuat aku sadar ada yang sedang aku kerjakan. Segera kulanjutkan pekerjaanku dengan tangan bergetar hebat. Aku merasa tulang-tulangku meloloskan diri dari kulit. Aku bersandar di meja counter ketika tanganku mencari wadah.

Dengan tangan memeluk piring dan mangkuk, kulirik dia melalui bahu. Tatapannya tidak bergeser dariku. Dan masih seliar tadi. Dia sama sekali tidak berusaha mengalihkan tatapannya ketika tatapan kami bertemu. Sampai aku jengah dan mengalah, kembali menatap meja. Tungku sudah mati. Tapi aku masih berdiri diam.

Setelah menarik napas beberapa kali, akhirnya aku mampu menggelung kembali rambutku menggunakan sumpit yang tadi dia letakkan di meja. Lalu aku berhasil memindahkan isi panci ke mangkuk. Ketika aku menata wadah di meja, baru dia mengubah posisi duduknya. Bersandar di kursi.

Ruang Rindu [16+ End]Where stories live. Discover now