Bab 11 Sayang

29.1K 4.1K 126
                                    


"Tutup Laptopnya Sha... "

"Bentar Mbak, nanggung."

"Dia suka gitu? Marahin aja tuh kalau dia nyuekin kamu gitu. Jangan mau dicuekin ama Pasha. keenakan dia ntar."

Aku hanya menatap Mbak Jingga yang memang sejak kemarin menemaniku di sini. Masih di kamar perawatan karena aku masih belum dibolehin pulang. Ternyata kondisiku ini bukan saja karena drop tubuhnya tapi aku dinyatakan hamil. Sungguh, aku tidak menyangka karena memang tidak ada indikasi apapun yang menandakan aku hamil. Karena memang masih sangat dini sekali, jadi dokter baru menginfokan kemarin setelah aku melakukan tes urine. Sejak mendengar itu, malah Mbak Jingga yang heboh, sedangkan Pasha masih saja tampak datar seperti biasa. Dia hanya mengecup pipiku saat tahu hal itu dan mengatakan aku harus menjaga semuanya dan tidak boleh melakukan apapun mulai sekarang. 

Sekarang posisi Pasha sedang tekun dengan laptop di atas meja, dan dia duduk di sofa di seberangku. Mbak Jingga sedang asyik mengupas apel, siang ini Mbak Jingga dan Mas Orion akan pulang. Kedua anak mereka ditinggal di rumah Bunda dan Ayah, sehingga tidak diajak ke sini.

"Atau kamu ikut sama Mbak aja ya, daripada di sia-siain si Pasha."

"Mbaaaaakkk."

Celetukan itu diucapkan Pasha yang kali ini mendongak dan menatap Mbak Jingga yang sudah tersenyum jahil kepadanya. Aku jadi merasa Pasha itu kembali seperti adik kecil kalau ada Mbak Jingga. Bukan Om-om yang suka berwajah dingin seperti biasanya.

"Lha kamu istri lagi sakit, hamil muda lagi dicuekin terus. Ngurusin kerjaan terus.... ckckckck... sama aja Sha."

Pasha yang mendengar Mbak Jingga memarahinya kali ini menutup laptop dan kini beranjak bangun dari sofa lalu melangkah mendekatiku. Dia mencomot begitu saja apel yang sudah di iris di atas piring membuat Mbak Jingga menepis tangannya dan mengatakan buat Zaskia, bukan kamu. Tapi Pasha tetep mengambilnya dan kini menyuapkannya ke mulutnya.

"Apa ya Mbak mau aku mesra sama Za sekarang?"

 Kali ini aku terkejut saat Pasha tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dan merangkulkan tangan di bahuku. Posisiku sekarang sedang duduk bersandar dengan bantal sebagai sandaran.

"Halah  sok pameeerrrr.... awas aja ya." Aku hanya mengulas senyum karena geli melihat interaksi mereka.

***** 

"Kuliah cuti aja."

 Aku yang baru saja menyelesaikan makan soreku yang berupa bubur kini menatap Pasha. Mbak Jingga dan Mas Orion sudah berpamitan pulang dan kini hanya tinggal kami berdua. Pasha membereskan piring kotor dan meletakkan di atas nakas. Dia mengambilkanku air mineral dan memberikan sedotan agar aku mudah meminumnya.

"Ya udah semester akhir Mas, kalau cuti nanti malah jadi males."

Pasha kini menatapku setelah mendengar jawabanku "Tapi kamu nggak boleh kecapekan."

"Cuma masuk kelas nggak suruh ngepel lantai juga kok Mas, duduk manis sambil dengerin dosen."

Pasha berdecak mendengar jawabanku. Aku tahu dia tidak suka dibantah, tapi masa ya aku ambil cuti? Untuk berapa lama coba? 

"Terserah kamu."
Nah kan, dia ngambek. Aku hanya diam saat dia membenarkan selimutku, lalu mengatur selang infus yang masih ada di lenganku. Lalu menyalakan lampu karena hari sudah menjelang malam. Sikapnya yang dewasa kadang suka menjadi kekanakan kalau dia seperti itu. Lalu dia beranjak ke sofa dan mengambil ponselnya, sibuk sendiri. Aku dicuekin sama dia.

Aku mencoba untuk memejamkan mata, tubuhku masih terasa begitu lemas, dan juga rasa mual kini mulai  terasa. Tapi baru beberapa saat tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Turun untuk ke kamar mandi pun harus dibantu oleh Pasha selama ini. Karena terlalu repot membawa selang infus kemana-mana. Akhirnya aku beranjak duduk lagi dan menatap Pasha yang masih saja anteng dengan ponselnya.

"Mas... "

"Hemmmm... "

"Za pingin pipis."

 Ucapanku itu membuat Pasha langsung menatapku. Tanpa banyak bicara dia beranjak dan melangkah mendekatiku. Lalu dengan sigap memegang infus, lalu membantuku untuk turun dari atas kasur. Dengan digandengnya aku masih masuk ke dalam kamar mandi. Tapi Pasha ikut masuk juga.

"Mas mau ngapain?"
Pasha mengernyitkan kening mendengar pertanyaanku.

"Nemenin kamu."

Tentu saja pipiku langsung memerah mendengar celetukan Pasha. Aku kan malu kalau ditatap sedang buang air kecil. Meski toilet duduk sekalipun.

"Mas di luar aja, ini dicantelin di sini."

Aku menunjuk tempat untuk meletakkan infus. Tapi Pasha menggelengkan kepala.

"Enggak."

Nah kan, keras kepalanya keluar.

"Mas... Za malu."

Mendengar ucapanku, Pasha malah kini menghela nafas lalu menatapku. "Udah mau jadi ibu kok malu sama aku."

Ishhh.... Pasha kalau lagi begini suka nyebelin. Aku memberengut dan segera duduk di atas toilet. Membuka celana piyamaku perlahan. Aku tidak menatap Pasha karena memang sangat malu. Dia ini kadang tidak peka memang.

Dengan cepat aku menyelesaikan hajatku, dan mencuci tangan. Tapi saat akan membenarkan celanaku, tentu saja aku kewalahan karena tanganku yang satunya kesulitan dengan infus. Pasha langsung mendekatiku, membuat aku panik.

"Mas mau ngapain?"

 Dia hanya berdecak dan tanpa menjawab membantuku membenarkan celanaku. Sungguh, aku sangat malu. Pipiku terasa panas, apalagi aku memang tidak bisa berbuat apapun lagi.

"Udah."

Dia mengatakan itu setelah menatapku yang sudah berdiri tegak dan rapi kembali. Lalu merangkulkan tangannya di bahuku dan membimbingku untuk keluar dari kamar mandi. Aku hanya diam dan malu untuk menatapnya saat dia membantuku berbaring kembali ke atas kasur. 

"Za.... "
Panggilan itu membuat aku menatap Pasha yang sudah membenarkan letak selang infusku kembali dan membenarkan selimut untukku. Pasha kini duduk di kursi lipat yang memang tersedia di samping kasur. 

"Marah?"

 Eh pertanyaannya malah membuat aku refleks menggelengkan kepala "Enggak."

"Owh... "

Pasha kini menopang dagunya dengan tangan yang ada di atas kasur jadi posisinya lebih condong ke arahku. 

"Maaf ya?"
 Dia menatapku lembut kali ini yang membuatku akhirnya menganggukkan kepala. Dia mengulurkan tangan untuk menepuk kepalaku. 

"Kamu tahu kan, Mbakku itu orang berada, tapi jangan berpikiran yang sama. Aku ya begini, keadaanku begini Za, semoga kamu nggak kecewa."

Ucapannya membuatku kini lebih serius untuk menatapnya dan mengartikan ucapannya.

"Kecewa buat apa Mas? Emang Mas bohong ama Za?"

 Untuk sesaat Pasha hanya terdiam, tapi kemudian dia menggelengkan kepala "Aku nggak pernah bohongin kamu, dari awal. Apa keadaanku ya memang begini adanya. Tapi aku memang mempunyai kesalahan di masa lalu yang membuat aku harus hidup seperti ini. Kamu nggak apa-apa kan?"

Aku mulai mengerti arah pembicaraannya, sekarang dan masa lalunya masih sangat bertentangan. Tapi semua orang pasti punya masa lalu kan?

Pasha kini mengenggam jemariku erat. Dia menunduk dan membuat rambutnya yang lurus itu kini menutupi dahinya. 

"Mas, Za kan nggak pernah mempermasalahin harta. Za nerima Mas apa adanya, yang penting Mas tanggung jawab dan setia. Soal masa lalu, semua orang juga punya Mas. Silakan bicara kalau Mas sudah siap dengan semuanya."

Mendengar jawabanku, Pasha kini mendongak dan menatapku. Netra kami bertemu. Tanpa kata dia mengecup jemariku dengan lembut lalu memejamkan mata "Aku sayang kamu, Za."

BERSAMBUNG

 HEEEMM,.... HEEEMMM NAMANYA JUGA CERITA MASIH ON GOIING SABAR YA BUAT PERTANYAAN KALIAN YANG ADA DI KEPALA, LOH KOK PASHA GINI, LOH KAN PACARNYA SI PASHA BUKAN SI ZA, LOH INI KOK GINI, HEHEHEHE SABARLAH..... MASA DIUNGKAP SEMUA YO NGGAK ASYIIIK BACANYA LAH.


SURPRISE WEDDINGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora