Kepergian Aleya

93 1 0
                                    

Siang itu cuaca tampak tidak bersahabat. Gumpalan awan hitam menghiasi dada langit. Sang bayu pun bertiup semakin kencang, membuat daun-daun kering dan kelopak bunga kemboja yang telah layu berjatuhan ke tanah. Tak lama kemudian, titik-titik air hujan pun turun membasahi bumi. Sepertinya semesta turut berduka dan menangisi kepergian Aleya, istri yang sangat Abyan cintai.

Pria tampan berusia tiga puluh dua tahun itu masih berdiri tegak menatap gundukan tanah merah yang dipenuhi rangkaian bunga di hadapannya. Ia sama sekali tidak beranjak dari sana. Walaupun wajah dan pakaiannya sudah mulai basah tersiram hujan, ia tidak peduli.

Gurat-gurat kesedihan terpancar jelas di raut wajah Abyan. Walaupun ia berusaha tetap tegar di hadapan semua orang, tidak dapat dipungkiri kalau ia begitu kehilangan.

Tuhan, kenapa secepat ini Engkau ambil istriku? Aku masih sangat membutuhkannya. Begitu juga dengan putri kami, Airin. Dia baru saja melihat dunia ini, tapi Engkau tega mengambil ibunya.

Tanpa terasa, air mata Abyan menetes berbaur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Kejadian di rumah sakit kemarin masih terekam jelas dalam ingatan.

Sebelum melahirkan, Aleya diketahui mengalami pre-eklampsia, yaitu tekanan darah tinggi pada masa kehamilan. Menurut dokter yang menangani, pre-eklampsia yang dialami Aleya tergolong berat karena trombositnya sangat rendah.

Dihadapkan pada situasi yang sulit, Aleya tidak bisa berpikir terlalu banyak. Belum lagi kondisi psikologisnya turut terpengaruh. Sementara Abyan berpikir agar operasi Caesar dijalankan ketika kondisi istrinya sudah benar-benar kuat. Namun, saat itu tiba-tiba Aleya kejang yang merupakan efek dari pre-eklampsia-nya, sehingga sudah tidak ada pilihan lain selain operasi.

Semula operasi yang dilakukan pada tengah malam itu berjalan dengan lancar. Abyan dan ibu mertuanya sangat bersyukur. Dokter yang menangani juga merasa senang, karena baik ibu maupun bayi berhasil diselamatkan. Hasil pemeriksaan setelah operasi pun menunjukkan kondisi napas dan jantung ibu, maupun bayi terbilang bagus. Selain itu, kekhawatiran akan pendarahan berlebih saat operasi juga tidak terjadi.

Pada saat itu, tidak pernah terlintas atau terbayang di benak Abyan dan ibu mertuanya kalau Aleya akan pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Namun, nyatanya takdir berkata lain. Ketika dini hari, kondisi Aleya mulai menurun. Dia mengalami komplikasi dari pre-eklampsia yang mengarah ke HELPP Syndrome, yaitu komplikasi serius akibat tekanan darah tinggi selama kehamilan. Organnya banyak yang kena karena itu.

Abyan dan ibu mertuanya begitu panik. Melihat kondisi Aleya yang semakin memburuk, membuat mereka ketakutan dan terjaga sepanjang malam.

"Bertahanlah, Sayang. Demi anak kita. Aku mohon," bisik Abyan dengan kelopak mata yang sudah berair. Ia sama sekali tidak melepas genggamannya dari tangan Aleya yang terbaring lemah menahan sakit.

"Aku akan bertahan, Mas. Aku enggak akan pergi sebelum melihat putriku," sahut Aleya sambil terisak. Butiran kristal bening tidak berhenti mengalir dari sudut matanya.

Dada Bu Saida kian sesak. Wanita paruh baya yang sejak tadi berdiri di samping ranjang putrinya itu tidak mampu membendung air matanya lagi. Ia menyeka bulir bening yang berjatuhan menodai wajahnya dengan sehelai sapu tangan yang sejak tadi digenggamnya. Dalam hati tidak putus-putus ia mendoakan keselamatan Aleya.

Pukul delapan pagi, seorang suster muda yang memakai pakaian serba hijau dan berhijab masuk ke ruang rawat Aleya sambil menggendong bayi.

"Selamat pagi, Bu Aleya, ini bayi Ibu. Saya sudah memandikannya. Tolong segera disusui ya, Bu!" ucap suster itu dengan ramah, lantas meletakkan bayi perempuan yang digendongnya itu ke dalam box bayi.

Turun Ranjang (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now