Selimut Hati

87 27 48
                                    

Selamat membaca ❤️
Kalau ada typo kasih tahu yaa

***

Yogyakarta, 2006

Aku bisa (huu...) untuk menjadi apa yang kau minta (huu...)
Untuk menjadi apa yang kau impikan (huu...)
Tapi 'ku tak bisa menjadi dirinya
Huu... (haa-i-ya-i-ya) huu...

Lagu Dewa 19 berjudul Selimut Hati itu sudah terdengar sejak aku dan Karis datang. Setelah menjemputku di tempat les, Karis mengajakku mampir sebentar untuk membeli roti bakar di depan sebuah apotik. Roti bakar keju susu kesukaan Tante Kasih, ibunya Karis.

"Udah bilang ke Mamang-nya kalau dibikin agak gosong?" tanyaku disela bibirku yang bergumam ikut menyanyikan lagu Selimut Hati yang diputar melalui radio lawas milik mamang tukang roti bakar.

"Udah. Hafal aja kamu selera ibuku." Karis ikut duduk di kursi plastik yang memang tersedia untuk menunggu pesanan.

"Lha wong hampir tiap hari ikut kamu beliin itu."

Karis nyengir. "Iya juga sih. Kamu kan anak nomor tiga ibuku."

"Bisa aja."

Aku kembali ikut bernyanyi seiring dengan bunyi radio. Sementara Karis, kakinya menghentak pelan mengikuti irama tapi mulutnya diam. Alasannya, jelas saja, dia sadar diri kalau suaranya jelek saat menyanyi.

Bukan tidak suka musik. Karis bahkan bisa memetik gitar dan bermain drum meskipun tidak mahir, tetapi kalau urusan menyanyi, maaf saja, lagu yang keluar dari mulutnya selalu terdengar aneh.

Kata Cipto, anak ART di rumah Karis yang juga berteman baik dengan kami karena seumuran, Karis kalau menyanyi suaranya ngang ngung ngang ngung seperti suara lebah. Benar-benar tidak enak didengar. Ya, manusia memang tidak ada yang sempurna.

"Selamat petang rekan dengar semua. Balik lagi sama aku di radio suara Bhakti. Radionya anak SMA Bhakti Negeri Ngayogyakarta"

"Halah, suara si Dodot," cibir Karis saat lagu Selimut Hati berakhir dan berganti suara penyiar.

"Dodot?" Aku mengernyit.

"Dodi, temenku futsal. Anak IPS."

Mulutku membulat membentuk huruf o sambil mengangguk. Sekolah kami memang memiliki radio sendiri, yang juga masuk menjadi salah satu ekstrakurikuler. Penyiarnya bisa dari kalangan para siswa atau kadang juga guru-guru muda.

"Oke rekan dengar. Tadi, baru aja kita dengerin sama-sama lagu dari Dewa 19, selimut hati. Lagu yang di-request oleh ... Siapa tadi ya? Bentar-bentar .... Oh, request dari Mentari, katanya spesial lagunya untuk Alma anak IPA 5. Wah, kayaknya mister Dodot tahu nih Alma anak IPA 5."

Karis langsung menoleh ke arahku mendengar apa yang diucapkan Dodot. "Kamu punya temen namanya Mentari? Kok aku nggak kenal?"

Aku mengernyit, mencoba mengingat siapa Mentari ini karena seingatku, aku tidak pernah punya teman namanya Mentari.

"Nggak punya deh kalau Mentari. Ada juga dulu pas TK, tapi ...."

"Pasti itu si Surya," tebak Karis langsung.

"Surya ...." Surya, matahari, mentari, benar juga sih.

Tak lama, ponsel di saku seragamku bergetar. Satu panggilan dari Surya.

"Telepon dari siapa?" tanya Karis sambil melongok ke arah layar ponselku.

Spontan, aku menutup layar. "Emm ... Nomor nggak kenal. Biarin aja." Aku menolak panggilan itu.

Karis dan Alma (Prekuel Beyond the Mission)Where stories live. Discover now