01 : Arti Kehilangan

6 0 0
                                    

Kota Angin, 23 April 1996

Suara tangisan terdengar saling menyahut. Semua orang dalam rumah hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Tak terkecuali seorang anak laki-laki yang terlihat termenung menatap jendela dengan tatapan sendu, air mata tak henti menderai di pipinya, ia seolah tak percaya akan kehilangan dua pijakan terkuat di hidupnya dalam waktu bersamaan. Ya, kini anak itu benar-benar merasa sendiri. Ayah dan Ibunya telah pergi. Anak itu tak akan pernah bertemu lagi dengan mereka selamanya.

"Kuat ya, Rimba!" ucap seorang wanita sambil terisak.

Rimba kecil yang sedari tadi mencoba tegar akhirnya runtuh, tangisnya pecah. Kenyataan yang sangat pahit harus diterima seorang anak berusia enam tahun.

Padahal hari ini akan menjadi pertemuan pertama Rimba dan orangtuanya setelah dua tahun berpisah. Orangtua Rimba memutuskan merantau ke Ibukota dua tahun lalu, karena desakan ekonomi. Selama itu Rimba di rumahnya bersama sang Nenek yang menemani dan mengurusnya, tetapi sang Nenek juga baru saja meninggal dua bulan lalu. Belum kering luka karena kepergian sang nenek, kini kembali tergores luka baru yang lebih menyakitkan karena kepergian kedua orang tuanya, yang menjadi korban kecelakaan bis saat perjalanan pulang menemui Rimba.

"Sekarang Rimba sendiri, semuanya udah pergi ninggalin Rimba." ucapnya kepada Bibinya dengan tersedu-sedu.

"Rimba enggak sendiri, Bibi ada di sini buat Rimba. Rimba harus kuat, ya!" sang Bibi menyeka air mata Rimba.

Suasana semakin pilu ketika jenazah kedua orangtua Rimba tiba di rumah duka. Rumah itu bak neraka dunia, dimana penuh dengan derai air mata. Rimba kecil sangat tak kuasa saat melihat tubuh dua malaikatnya terbujur tak bernyawa. Ia ingin mengucap sesuatu tapi pilu membungkamnya.

"Ayah! Ibu! kenapa ninggalin Rimba? Sekarang enggak ada lagi Ayah yang marahin Rimba kalau lagi nakal. Enggak ada lagi Ibu yang hibur Rimba kalo lagi nangis. Rimba sendiri sekarang, Rimba sendiri." ucapnya terbata-bata di hadapan jenazah orangtuanya, sebelum akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri.

Saat tersadar kembali rumah Rimba sudah dipenuhi orang, mulai dari kerabat, tetangga maupun teman-teman dari orangtuanya. Ada yang melayat, ada yang ingin ikut shalat jenazah, ada juga yang hanya penasaran ingin melihat lalu pergi tanpa ucapan belasungkawa, memang manusia kadang kehilangan rasa empatinya.

Setelah dimandikan dan disholatkan, jenazah kedua orangtua Rimba siap untuk dikebumikan. Saat melihat tubuh dua orang yang paling berarti dalam hidupnya dimasukan ke liang lahat masing-masing, rimba merasakan arti kehilangan yang sesungguhnya. Gelapnya dunia seakan dengan cepat menyergapnya, waktu seakan berhenti berputar baginya.

Taburan bunga dan Al-Fatihah adalah hadiah terbaik yang bisa Rimba berikan kepada Ayah dan Ibunya untuk terakhir kalinya. Setelah begitu banyak tangis, Rimba mencoba tegar, meski hatinya sakit tak tertahan.

"Rimba ayo pulang!" ajak sang Bibi.

Rimba hanya mengangguk, wajahnya sangat kacau. Walau sebenarnya ia masih ingin berada di makam orangtuanya, ingin memberikan doa yang sebanyak-banyaknya agar dua malaikatnya itu mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

•••

Acara tujuh harian telah selesai tapi rasa sakit hati Rimba tak kunjung usai. Anak itu duduk termangun di kamarnya sembari menatap foto Ayah dan Ibunya dengan tatapan sayu. Air matanya terasa tak ingin berhenti mengalir meski telah tujuh hari berlalu. Entah kapan dia akan pulih ketika kenangan-kenangan datang menyisakan perih.

"Rimba, makan dulu!" pinta sang Bibi sembari mengetuk pintu kamar.

"Nanti!", jawab Rimba.

Akhirnya Bibinya masuk karena pintunya memang tidak dikunci, lalu menghampiri Rimba yang sekarang berbaring di kasur.

TerjalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang