Bab 18

14 6 0
                                    

"Kalian liat? Bahkan dia ...." Wina menunjuk Arsha, kemudian melanjutkan ucapannya, "dia masih lebih mikirin Naura. Padahal aku ada di sini. Di depan kalian. Jadi, kalian minta maaf itu murni minta maaf, atau cuma biar Naura balik, hah?"



Mereka berlima semakin terdiam. Termasuk Arsha yang berhasil menyulut emosi Wina dengan ucapannya. Ia bahkan baru sadar bahwa kalimat itu terlontar dari dirinya. Bukannya hanya ingin membela Naura. Namun, di matanya, memang Naura yang punya peran penting dalam group band ini. Suara khas gadis itu lah yang membuat The White Frappe melejit lebih cepat dari apa yang pernah mereka impikan.



Tak jarang yang memuji betapa bagus suara Naura. Namun, tentu ada pula yang memuji personel lain juga. Dan bagi Arsha, itu sudah cukup untuk menjadi sebuah alasan agar Naura harus tetap bersama The White Frappe. Dan kini, satu-satunya cara meraih gadis itu kembali adalah melalui Wina.



"Oke, oke. Aku mewakili Arsha minta maaf kalau-"



"Enggak!" Dengan cepat, Arsha memotong ucapan Tama. Ia menatap tajam lelaki itu, kemudian menatap Wina dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. "Gue enggak akan minta maaf sama orang egois kayak dia," ujar Arsha kemudian sambil menunjuk Wina lurus-lurus.



Wina tergelak dan menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Are you kidding?" Wina melengoskan pandangannya. Rasa kesalnya berhasil menyalakan kran air di pelupuk matanya.



"Kakak bilang aku egois?" tanya Wina kemudian. "Sekarang aku tanya. Siapa yang lebih egois? Aku atau Kakak? Bahkan Kakak enggak peduli aku udah secapek apa buat latihan, kecuali Naura yang minta istirahat atau berhenti."



Kali ini, Wina seolah tengah diberi keberanian dan tempat untuk mencurahkan segala isi hatinya yang telah ia kubur selama ini. Ia mengungkapkan semua yang tak pernah orang lain ketahui, bahkan Naura sekali pun.



Saat kelima lelaki di depannya terus-menerus terdiam, Wina pun memutuskan untuk beranjak bangun dan melangkah mendekati pintu, di mana Desta duduk menutupi setengah bagiannya. Membuat semua orang menatapnya dengan terheran-heran.



"Win, mau ke mana?" tanya Bayu yang seketika meraih tangan gadis itu. Mencegah gadis itu melangkah keluar dari ruangan.



Wina menoleh. Menatap Bayu sejenak, sebelum akhirnya kembali menoleh ke depan. "Balik. Percuma aku di sini. Buang-buang waktu."



"Tapi urusan kita belum selesai, Win," cegah Bayu. Sebisa mungkin, ia berusaha agar Wina tidak meninggalkan mereka sebelum urusan mereka selesai. Namun, lagi-lagi usahanya harus digagalkan oleh keputusan Arsha yang sangat sepihak.



"Udah. Biarin aja dia balik. Enggak usah ditahan-tahan. Buat apa?"



Seketika Wina mendengus mendengar kalimat dari Arsha. Ia langsung menyentak genggaman tangan Bayu dan menatap Arsha tajam. "Kalian semua udah denger, 'kan, apa yang diminta sama Yang Mulia dan Yang Terhormat Arsha Wijaya? Daripada kalian dimarahin kayak aku, mending biarin aku pulang sekarang. Pikir sendiri gimana caranya ngajak Naura balik tanpa aku. Semoga berhasil," ucap Wina dengan penekanan pada kalimat terakhirnya.



Gadis itu kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan empat lelaki yang terus memandangi punggungnya dengan raut wajah bingung dan seorang lelaki dengan raut wajah penuh emosi. Tak ada yang berusaha mengejar Wina sama sekali. Bukan karena mereka tak mau melakukan itu. Lebih tepatnya, mereka sudah tak tahu lagi, langkah mana yang tepat untuk mereka ambil kali ini.



Ketika punggung Wina sudah tak lagi terlihat, seketika Desta bangkit dari duduknya dan menghampiri Arsha. Dengan tangannya yang cukup gempal, ia meraih kerah baju Arsha dengan beringas. Kulit wajahnya yang kecokelatan, kini tampak memiliki semburat merah. Urat-urat di lehernya yang biasanya tertutup lemak, kini sedikit terlihat. Pertanda ia berada dalam puncak emosinya.



"Mau lo apa, hah? Gue sama Arnold, sama yang lain juga, berusaha buat perbaiki semuanya. Kita pengin nyatuin The White Frappe lagi. Tapi kenapa lo seenaknya ngomong kayak gitu, hah?" teriak Desta, tepat di depan Arsha yang kini menunduk. Deru napas Desta terdengar memburu. Mungkin, jika ia tak memiliki hati, ia sudah memukul habis lelaki di depannya ini.



"Gue pikir lo juga pengin The White Frappe kayak dulu lagi. Kumpul dengan personel yang full. Nerima job sana-sini dengan senang hati. Gue pikir lo mau bantu gue sama Arnold buat perbaiki semuanya. Tapi lo malah ancurin semua usaha kita! Sekarang, Wina pergi. Puas lo?"



Tak ada yang berusaha memisahkan mereka berdua. Mereka yakin, Desta tak mungkin sampai memukul sosok tertua dalam kelompok tersebut, semarah apa pun dirinya.



Tiba-tiba saja, Arsha mengangkat wajahnya. Dengan tegas, ia menatap Desta yang masih memberikan tatapan penuh emosi padanya. "Lo tau apa? Lo pikir, gue mau grup yang gue bangun dan gue asuh ini bubar gitu aja? Gue justru mau bantu kalian! Kalau enggak kayak gitu, Wina enggak akan mungkin terbuka sama kita."



"Tapi itu bikin dia makin kesel sama kita, Kak. Dia makin jauh dari kita," ujar Arnold tenang. Sebisa mungkin, ia mencoba menguasai diri di tengah emosinya yang tak kalah meluap.



"Gue cuma mau bantu band ini balik kayak dulu. Salah?" ujar Arsha keras. Emosinya makin menjadi karena merasa sangat disalahkan.



Tama seketika maju mendekati Arsha. "Salah? Tujuan lo enggak salah. Omongan lo yang salah. Lo pikir dengan ngomong kayak gitu, Wina bakal dengan senang hati maafin kita? Setelah sekian tahun jadi nomor sekian di The White Frappe, lo masih bisa ngomong kayak gitu dan berharap dia terima?"



Arsha mendengus. "Emang kenyataannya gitu, 'kan?"



Namun, ucapan Arsha kali ini ternyata berhasil membuat Desta menjebol dinding pertahanannya. Ia langsung mendorong Arsha dengan keras hingga punggungnya menghantam dinding. Matanya menatap lelaki itu nyalang. Jari telunjuknya ia arahkan tepat menunjuk Arsha dengan begitu tegas, bahkan hingga bergetar.



"Lo boleh jadi tentor kita. Lo boleh jadi senior kita. Tapi ini bukan band lo. Lo enggak ada hak buat ngomong semena-mena ke personel band gue. Jangan mentang-mentang lo lebih tua dan lebih tau dari kita, lo bisa mutusin semuanya seenaknya. Gue enggak akan biarin band gue ancur cuma gara-gara lo, Arsha Wijaya," ucap Desta panjang lebar sebelum akhirnya melepas cengkeraman tangannya di kerah baju Arsha, kemudian berbalik dan melangkah menjauh.



Namun, Arsha seketika terkekeh. "Yakin lo bisa nyelesein masalah ini? Gue sih enggak yakin. Lo berdua enggak akan bisa apa-apa tanpa kita bertiga." Arsha menunjuk dirinya sendiri, Bayu, dan Tama. "Apa lo enggak inget siapa yang masukin Naura ke band kalian? Gue. Yang pontang-panting nyari job buat naikin pamor kalian? Gue. Kalian bisa apa tanpa gue?" lanjutnya yang membuat emosi Desta dan Arnold makin meluap.



"Bangsat!"



Hampir saja Desta melayangkan bogem mentah, jika saja Arnold tak menahannya. Arnold segera menyeret lelaki gempal itu keluar ruangan dan menjauhi Arsha, sebelum terjadi baku hantam. Sekaligus, ia juga ingin menenangkan diri.



Sementara itu, di dalam ruangan, Arsha mendengus senang dengan melipat tangan di depan dada. Seolah ia sudah menang atas semuanya. Namun, tiba-tiba suara Tama memecah euforia sementaranya.



"Gue enggak nyangka, pikiran lo kayak gitu," ucap Tama yang kemudian langsung keluar dari ruangan, diikuti Bayu yang menatap Arsha dengan sorot penuh kekecewaan.



Hal itu membuat Arsha kesal bukan main. "Gue bakal buktiin. Yang bisa bawa Naura balik ke band ini cuma gue! Kalian enggak bisa apa-apa!"


The White Frappe [TAMAT]✓Where stories live. Discover now