23. Dirimu yang Biasanya

74 7 6
                                    


Hening. Akaashi belum mendengar jawaban dari istrinya. Chihiro terus menunduk antara bingung harus mengatakan apa dan tidak mau mengutarakan pikirannya. Sentuhan pada pundak Akaashi ia lepas perlahan, memilih mengaitkan erat kedua tangan.

"Pergilah. Kamu harus bekerja."

"Aku izin hari ini." Sang istri langsung mendongak, terkejut.

"Eh?"

"Aku tidak mau meninggalkanmu." Manik Chihiro terasa panas. Senang pada apa yang suaminya katakan. Sangat jarang Akaashi seperti ini, menunjukkan bahwa Chihiro adalah orang paling berharga dari ucapan. Tetapi setelah mengingat karenanya anak pria yang dicintai telah tiada, Chihiro merasa tidak berhak mendapat perkataan itu. Setidaknya meski Akaashi tidak kecewa padanya, Chihiro harus menghukum dirinya sendiri.

Dia yang tidak tahu telah hamil. Dia bahkan hampir tenggelam, karena kecerobohannya yang bodoh. Hingga anak yang dikandungnya terlibat bahaya untuk kedua kali, anak itu direbut darinya. Seakan memberi Chihiro penjelasan dia tidak pantas menjadi seorang ibu.

"Hen..tikan." Chihiro menggigit bibir. Bicara malah membuat air matanya tak dapat ditahan. Ia palingkan pandangannya dari Akaashi. Disambut tangan yang menyentuh tengkuk memaksanya menatap si empu.

"Aku ada di sini."

Chihiro memegang tangan Akaashi dan melepasnya. Menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, "Kamu tidak perlu sampai seperti ini."

"Kau pikir aku bisa mengabaikanmu?"

"Kamu harus mengabaikanku." Sontak Akaashi membelalak.

"Chihiro, jangan menyiksa dirimu sendiri."

"Lalu apa? Aku harus biasa saja setelah dia mati, begitu? Mana mungkin aku bisa melakukannya."

"Aku tidak melarangmu sedih, tapi--"

"Daripada itu, kenapa kamu biasa saja? Justru kamu yang aneh, Akkun. Kamu memang tidak menyalahkanku, tapi bagaimana kamu bisa biasa saja? Padahal anak kamu baru saja meninggal, kamu sama sekali tidak sedih! Kamu tidak menyayanginya? Apa kamu tidak menyalahkanku karena kamu memang tidak mengharapkannya?"

Iris cokelat melebar menyadari perkataannya keterlaluan. Emosi dan beban pikiran dilampiaskan begitu saja pada Akaashi. Chihiro menunduk, melirik ke sana kemari mulai resah. Diselimuti ketakutan Akaashi akan marah.

Bukan itu yang Chihiro pikirkan, lagipula mustahil suaminya tidak bersedih. Chihiro hanya kesal karena Akaashi mendesaknya, berakhir ucapan kejam terlontar tanpa bisa dicegah.

"Ti..tidak. Bukan begitu. Ma-maaf.." Chihiro membeku menyaksikan sorot kecewa, marah, dan pedih dari sang suami. Air matanya mengalir memandang wajah itu. "Akkun.., maksudku--"

"Kalau kau beranggapan seperti itu, mungkin memang begitu." Menggeleng cepat, Chihiro kemudian mengulum bibir sebelum membuka mulut hendak berucap.

"Karena menurutku yang lebih penting adalah kau. Kau ada di sini, masih di sampingku. Jelas aku lebih mencemaskanmu yang terus menyiksa dirimu sendiri. Ucapanmu mungkin benar, kenyataannya aku senang kau selamat dan bisa bersamaku seperti ini." Perkataannya semakin membuat Chihiro menyesali apa yang ia ungkapkan.

Tentu saja, bukan berarti Akaashi tidak sedih dengan apa yang telah terjadi. Pria itu berbeda dari Chihiro yang tidak terima dan terus menyalahkan diri, dia memilih bersyukur istrinya tidak ikut meninggalkannya.

Dan Chihiro tahu itu. Karena itulah dia marah pada perkataannya. Meskipun Akaashi tidak membentak, memberitahukan bahwa lelaki itu sebenarnya sama, sama-sama merasa sedih, bahkan menyesal hingga pikiran berupa --"Seharusnya aku tidak bertindak seperti ini." Atau "Seharusnya aku tidak membuat keputusan seperti ini."-- muncul berkali-kali sampai membuatnya hampir gila dan jatuh pada keputusasaan.

Troublesome Love 2 : After School (Completed)Where stories live. Discover now